Dari Editor Agustus 2019: Merengungi Kembali Ramalan Piet Bleeker

By Mahandis Yoanata Thamrin, Jumat, 2 Agustus 2019 | 18:22 WIB
National Geographic Indonesia edisi Agustus 2019, 125 Tahun Museum Zoological Bogoriense. (Desainer: Heri Cahyadi)

Di negeri ini kadang perkembangan sains disokong oleh orang-orang yang bukan ilmuwan. Pada zaman kolonial, perkumpulan sains amatir menentukan perkembangan sains. Pemerintah sedikit membantu mereka.

Johan Maurits Mohr, pegiat astronom amatir dan pemilik observatorium pertama di Batavia pada 1768, merupakan pastor lulusan teologi Universitas Groningen. Selain dia, Jacob Cornelis Matthieu Radermacher mendirikan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappenc atau perkumpulan warga Batavia untuk seni dan sains. Radermacher pun bukan seorang ilmuwan melainkan pengacara. Kini, perkumpulan itu menjelma sebagai Museum Nasional, yang pada tahun ini berusia 241 tahun. Raden Saleh, yang juga anggota komunitas itu, menekuni paleoantropologi saat memburu fosil-fosil di Jawa.

Beberapa bulan silam Kepala Bidang Zoologi Museum Zoologicum Bogoriense Cahyo Rahmadi singgah ke redaksi. Ia mengabarkan, lembaga yang dipimpinnya berusia 125 tahun pada Agustus ini. Sepanjang perjalanannya, lembaga zoologi itu telah memiliki selusin penyebutan resminya.

Lembaga zoologi itu lahir terlambat, 77 tahun setelah Kebun Raya Bogor. Itu pun setelah pemerintah merasa penting untuk menjaga hasil perkebunan dari gangguan hama. Ilmuwan dan sains di negeri jajahan memang terbelenggu oleh kebijakan negeri induk.

National Geographic Indonesia edisi Agustus 2019, 'Penjaga Harta Nusantara'—125 Tahun Museum Zoologicum Bogoriense (National Geographic Indonesia)

Zaman Pencerahan itu akan sampai ke negeri kita, kendati menempuh jalan panjang dan berliku untuk bisa mencapai tingkat yang sejajar dengan Eropa. Pada 1862, Piet Bleeker, mantan direktur pertama Sekolah Dokter Djawa yang kelak menjadi STOVIA, pernah menawarkan kurikulum pendidikan sejarah alam dengan penekanan pada pendidikan geologi, botani, dan zoologi sebagai dasar sistem pendidikan birokrat kolonial. Sayangnya, parlemen menolaknya dengan menetapkan kurikulum bahasa dan kebudayaan tradisional untuk dasar pendidikan birokrat kolonial.

Bleeker pernah meramalkan akan datangnya suatu zaman di negeri ini ketika setiap disiplin ilmu memiliki asosiasi atau perkumpulannya sendiri seperti di Eropa. Dia berharap impiannya terwujud karena itulah refleksi perkembangan maju dalam masyarakat. Dia agak berputus asa dengan berkata, “Namun, masa itu, jika benar-benar datang, kemungkinan keturunan jauh kita.”

Saya sesekali bertukar pikiran atau mengikuti kegiatan para peneliti amatir di Jakarta atau kota-kota lainnya. Ada kawan-kawan yang bergiat di komunitas astronom amatir, komunitas seni botani, komunitas pengamat burung, komunitas biologi, hingga komunitas penelusur sejarah candi.

Mereka memiliki perhatian dan gairah tentang sains demi memenuhi kesenangan atau hobi. Kendati mereka adalah peneliti berbasis warga, kegiatan mereka jauh dari pseudo-sains—sains yang berpura-pura. Mereka bertumpu pada sains dan memiliki semacam dewan penasihat yang berlatar ilmuwan di bidangnya. Saya pikir sudah saatnya komunitas sains berbasis warga berkelindan dengan lembaga sains.

“Logo museum kami adalah komodo dengan semboyan in solitudine fors, yang artinya kuat dalam kesendirian,” kata Cahyo Rahmadi. “Namun,” ia buru-buru menambahkan, “zaman sekarang kami tidak bisa sendiri lagi. Kami kuat bersama-sama media dan masyarakat.”

Baca juga: Editorial Juli 2019: Tahun Perayaan Astronomi dan Pembelajaran Sains

Museum Zoologicum Bogoriense memiliki koleksi lebih dari 2,7 juta spesimen. Museum ini pun ditahbiskan sebagai salah satu lembaga yang memiliki koleksi terpenting di Asia Tenggara. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)