Nationalgeographic.co.id— Suatu hari, ayah membingkiskan sebuah buku untuk saya. Sampulnya warna putih dengan potret seorang astronaut yang berjejak di Bulan. Ketika itu saya masih kanak-kanak, mungkin kelas satu sekolah dasar. Buku itu menjadi buku pertama saya tentang sains, sebuah ensiklopedia visual seputar ruang angkasa dan misi ke Bulan.
Ibu kerap membacakan halaman demi halaman setiap saya bersiap tidur malam. Bertahun-tahun kemudian, saya baru mengetahui bahwa astronaut dalam sampul buku itu bernama Buzz Aldrin, yang dipotret di Bulan pada 20 Juli 1969.
Tahun ini warga Bumi memperingati 50 tahun pencapaian manusia yang bisa berjalan-jalan di permukaan Bulan. Pada edisi ini kami menyajikan kisah feature tentang era perjalanan luar angkasa. Bagaimana manusia mencapai Bulan dan apa selanjutnya yang bisa kita lakukan. Jadi kapan perjalanan ke Mars bisa terwujud?
Tahun ini juga merupakan angka cantik untuk astronomi. Masih ingatkan kita dengan Johannes Kepler, seseorang yang membukakan pintu luar angkasa untuk pencapaian peradaban manusia. Kita merayakan 400 tahun penemuan Hukum Kepler Ketiga: ”Kuadrat periode suatu planet sebanding dengan pangkat tiga jarak rata-ratanya dari Matahari ”.
Baca juga: Dari Editor Juni 2019: Raffles dan Refleksi Kebinekaan di Tengger
Pada 1619, ketika Batavia dibangun di atas puing-puing Kota Jayakarta, nun jauh di Linz, Austria, Johannes Kepler (1571–1630) merilis ikhtisarnya yang ketiga tentang periode revolusi di setiap planet yang mengelilingi Matahari. Teori itu diterbitkan dalam bukunya yang bertajuk Harmonice Mundi yang bermakna Keharmonisan Dunia.
Apa yang bisa kita petik dari peringatan ini?
Pada awal abad ke-20, Profesor Max Caspar, yang dikenal sebagai ilmuwan yang paling memahami alam pikiran Johannes Kepler, merilis buku bertajuk Kepler. Ada pendapat dari sang Profesor itu yang masih menarik untuk kita renungkan.
"Intoleransi keagamaan sangat memuakkan bagi Kepler, yang yakin bahwa keharmonisan di antara planet-planet seharusnya terdapat juga di antara umat manusia."
Tahun ini pula kita merayakan ulang tahun International Astronomical Union yang ke-100. Kita pun mengenang 100 tahun pemotretan pertama gerhana Matahari total di Afrika barat. Namun, kita sendiri juga memiliki perayaan penting: 50 tahun Planetarium dan Observatorium Jakarta.
Baca juga: Dari Editor April 2019: Tantangan Menemukan Kembali Jiwa Kota
Gedung Planetarium Jakarta mengingatkan kita kepada Bung Karno, yang meresmikan dimulainya pembangunan planetarium yang terbesar di seluruh dunia dan pertama di Asia Tenggara pada 1964. Bangunan berkubah itu memulai pertunjukannya untuk umum pada 1 Maret 1969. Kita menolak lupa atas bantuan dana para pengusaha batik yang terhimpun dalam Gabungan Koperasi Batik Indonesia demi berdirinya bangunan ini. Atas alasan inilah kami menyajikan dua kisah pendek bertema astronomi dan batik Lasem.
Bung Karno memiliki harapan besar kepada Planetarium Jakarta, yang menurutnya berdarma demi mengeyahkan tahayul seputar peristiwa benda-benda angkasa. Saya pikir, pada saat itulah Bapak Bangsa kita telah meletakkan salah satu dasar pembelajaran sains kepada masyarakat Indonesia. Pembelajaran sains yang baik akan membangun pola pikir sainstifik. Lebih jauh lagi, kemajuan sains di suatu negara menunjukkan kemajuan peradaban.
Saya kembali terkenang buku bersampul putih dengan potret seorang astronaut, yang dibingkiskan ayah. Entahlah, di mana buku itu sekarang.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR