Bahaya Jangka Pendek dan Panjang dari Kabut Asap di Riau

By National Geographic Indonesia, Senin, 16 September 2019 | 10:56 WIB
Helikopter Mi-8 menjatuhkan bom air di Kalimantan Tengah 17/10/2018. Kebakaran lahan masih menjadi ancaman bagi Kalimantan. (Dansubsatgas Udara BPBD Kalteng)

Nationalgeographic.co.id - Kebakaran hutan menyebabkan kabut asap menyelimuti Riau, khususnya Kota Pekanbaru.

Disampaikan oleh Ketua Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi, FKUI-RSUP Persahabatan, Dr dr Agus Dwi Susanto Sp. P(K); kabut asap dapat menyebabkan efek buruk, baik yang jangka pendek atau jangka panjang, bagi kesehatan orang yang menghirupnya.

Efek jangka pendek

Efek jangka pendek dari asap, dikatakan Agus, dapat menyebabkan injury atau luka melalui berbagai mekanisme yang berbeda. "Dalam jangka pendek atau akut, asap kebakaran akan membuat iritasi selaput lendir mata, hidung, tenggorokan hingga menimbulkan gejala berupa mata berair dan perih, hidung berair dan tidak nyaman pada tenggorokan, mual, sakit kepala, dan memudahkan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)," katanya.

Baca Juga: Sering Sakit? Enam Makanan Ini Bagus untuk Jaga Sistem Kekebalan Tubuh

Selain itu, paparan gas karbon monoksida (CO) yang terhirup berpotensi meningkatkan karboksihemoglobin (COHb) atau kadar karbon monoksida dalam darah yang berikatan dengan hemoglobin. Ini dapat menimbulkan keluhan seperti sakit kepala, sesak napas, mual dan sebagainya.

Berikut penjelasan dari berbagai penyakit yang bisa timbul akibat terpapar atau menghirup udara berkabut asap:

Sebagian besar gas dan partikel dalam asap kebakaran bersifat iritatif atau menyebabkan iritasi membran mukosa di kulit, mata, hidung dan saluran napas. Laporan penelitian dari tim Japan Internasional Cooperation Agency (JICA) tahun 1997 di Jambi menyebutkan, sebanyak 40 persen orang yang datang ke pelayanan kesehatan mengeluh sakit kepala dan 50 persen mengeluh mata merah dan berair.

Paparan asap akan meningkatkan kemungkinan ISPA, oleh bakteri dan virus akibat tekanan aktivitas maktofag sehingga pneumonia dan komplikasi pernapasan lainnya lebih mudah terjadi. Kasus ISPA meningkat 1,8 sampai 3,8 kali pada daerah yang terjadi bencara kebakaran hutan untuk periode sama tahun sebelumnya, atau terjadi peningkatan ISPA sekitar 12 persen (setiap kenaikan partikulat (PM) 10 dari 50 µgram/m3 menjadi 150 µgram/m3).

Pajanan atau paparan asap dapat menyebabkan penurunan fungsi paru. Beberapa laporan penelitian menyebutkan, terjadi penurunan kapasitas vital paksa (KVP) dan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) yang terjadi setelah terpajan asap kebakaran hutan dan menimbulkan efek pada saluran pernapasan.

Asap yang terhirup oleh penderita asma menyebabkan inflamasi dan konstruksi jalan napas. Penyakit asma dan paru obstruktif kronik (PPOK) meningkat akibat asap kebakaran. Peningkatan penyakit asma mencapai 19 persen, dan peningkatan kunjungan pasien asma dan PPOK ke instalasi gawat darurat sebesar 30-40 persen.

Terjadi peningkatan perawatan di rumah sakit, umumnya terkait paru, pernapasan dan jantung. Penelitian sebelumnya oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) melaporkan bahwa terjadi peningkatan perawatan karena pernapasan sebanyak 11-18 persen setiap ada peningkatan PM 10 sebesar 30 µgram/m3.