Kisah Dua Pengantin Anak Suriah yang Menikah di Usia 14 Tahun

By Gita Laras Widyaningrum, Senin, 23 September 2019 | 17:03 WIB
Perang Suriah telah menciptakan pusaran pernikahan dini. (Al Jazeera)

Nationalgeographic.co.id - Setiap tahunnya, masa kecil 15 juta anak perempuan di seluruh dunia berakhir ketika mereka harus menikah sebelum berusia 18 tahun. Menurut International Centre for Research on Women (ICRW), Asia Selatan memiliki jumlah pengantin anak terbesar. Namun, pernikahan dini sendiri merupakan fenomena global.

Penelitian menunjukkan, anak-anak perempuan yang tinggal dalam kemiskinan, lebih rentan terhadap hal tersebut. Dan pada akhirnya, dengan menikah di umur yang masih sangat muda, mereka kembali mengulang siklus kemiskinan.

UNICEF mengatakan, setelah menikah, anak-anak itu harus keluar dari sekolah. Mengakibatkan kesulitan untuk mencari pekerjaan di masa depan.

“Aku tidak bisa pergi ke sekolah karena perang,” ujar Ola, pengungsi Suriah yang menikah di umur 14 tahun.

“Kami harus tinggal di rumah karena sekolah ditutup. Aku hanya belajar sampai kelas enam,” katanya.

Baca Juga: Schandenfreude, Rasa Senang Ketika Melihat Orang Lain Kesusahan

Perang Suriah telah menciptakan pusaran pernikahan dini. Hidup berpindah-pindah, kemiskinan, dan khawatir akan keselamatan anak-anaknya mendorong keluarga untuk menikahkan putri mereka. “Saya meninggalkan Aleppo enam tahun lalu,” kata Fatima, pengungsi Suriah yang tinggal di kamp Yordania.

“Kami biasa pergi ke sekolah, lalu pulang ke rumah setelahnya. Aku mengerjakan PR dan bermain bersama teman-teman. Jika masalahnya sudah berakhir, aku pasti akan kembali. Namun, belum bisa sekarang karena situasi yang sedang berlangsung. Di sana, hanya ada teror dan ketakutan,” cerita Fatima.

Saat ini, Yordania menjadi rumah bagi 650 ribu pengungsi Suriah. UNICEF mengatakan, ‘wabah pernikahan anak’ sedang berkembang di sana.

Sejak awal perang Suriah pada 2011 hingga sekarang, pernikahan anak telah meningkat dari 15% menjadi 36%.

Pengantin anak biasanya menghadapi kekerasan dalam rumah tangga, geraknya dibatasi, dan tidak diberi kesempatan untuk mengambil keputusan dalam keluarga.

Meskipun mendapat izin dari orangtua, namun menurut ICRW, pernikahan anak termasuk bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan kekerasan.