Kisah Yulianti, Pantang Menyerah Mendidik Anak Berkebutuhan Khusus

By National Geographic Indonesia, Kamis, 3 Oktober 2019 | 11:40 WIB
Yulianti, pendiri Sekolah Dreamable. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id – Awalnya tidak pernah terpikir oleh Yulianti (36) untuk menyelenggarakan kegiatan belajar dan mengajar bagi anak berkebutuhan khusus (ABK)–apalagi sampai mendirikan sekolah nonformal.

Namun, suatu hari, Yulianti sadar bahwa ABK bisa dididik untuk mandiri. Soal ini, ia berkaca pada pengalamannya sendiri. Sang buah hati, Hanif Naufal, adalah tunagrahita. Meski tetangga maupun keluarganya sempat berpikir kalau Hanif tidak perlu disekolahkan, tapi Yulianti tidak menyerah dan ingin putranya mendapat pendidikan.

Pertama-tama, ia membekali Hanif dengan pendidikan bina diri. Hanif diajarkan untuk mandi, membersihkan rumah, mencuci piring, mengaji, dan melakukan kegiatan sehari-hari. Berkat kegigihannya, Yulianti berhasil mendidik putranya menjadi mandiri. Sekarang Hanif sudah bisa makan dan mandi sendiri. Bahkan bisa mengerjakan tugas-tugas rumah tangga, seperti menyapu, mengangkat jemuran, dan mencuci piring.

Menurutnya, yang diperlukan oleh seorang anak berkebutuhan khusus adalah pendidikan bina diri hingga kelak mereka bisa mandiri. Adam, nama panggilan Hanif, sekarang sudah duduk di bangku kelas 3 SMU SLB Arrahman.

Baca Juga: Semangat Sekolah Dreamable Ajarkan Kemandirian Bagi Anak-anak Berkebutuhan Khusus

Melihat kemajuan Hanif, Yulianti pun optimis ABK lainnya bisa melakukan hal sama jika diajarkan. Ia berniat mendirikan sekolah nonformal bagi ABK.

Yulianti kemudian mencari tahu lebih banyak mengenai pendidikan luar biasa dan memutuskan untuk melanjutkan kuliah di jurusan Pendidikan Luar Biasa di Universitas Islam Nusantara, Bandung.

Ternyata ia tak sendiri. Dari hasil pendataan dan “penjaringan” ABK di lingkungan rumahnya di Desa Tegalluar, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung, Yulianti mencatat ada beberapa keluarga dengan anak berkebutuhan khusus.

Tantangan pertama yang dihadapi Yulianti adalah penolakan orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Mereka tidak ingin menyekolahkan anaknya karena skeptis akan kemampuan sang buah hati. Bahkan, ada orangtua yang mengatakan: “Ah, buat apa sekolah? Anak ini kan gila, percuma disekolahin!”

Yang lebih menyedihkan, ada keluarga yang sengaja menyembunyikan karena malu dengan kondisi anaknya.

“Ada anak yang sering diajak mengemis, tapi ada juga yang dibiarkan saja telanjang setiap hari,” cerita Yulianti.

Meski kerap mendapatkan penolakan, tapi Yulianti dan rekan-rekannya justru semakin gigih meyakinkan para orangtua ABK. Mereka terus melakukan kunjungan dan pendekatan kepada orang tua. Tidak lupa menceritakan keberhasilannya dalam mengasuh Adam.