Studi: 1 Dari 5 Vertebrata Pasti Menjadi Korban Perdagangan Ilegal

By Gita Laras Widyaningrum, Senin, 7 Oktober 2019 | 15:00 WIB
Burung macaw biru kuning. (Tomasz Dutkiewicz/Getty Images/iStockphoto)

Nationalgeographic.co.id - "Pohon kehidupan sedang terancam oleh aktivitas manusia pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya". Itulah kesimpulan para peneliti dalam jurnal Science

Studi mereka menemukan fakta bahwa sekitar 18% spesies vertebrata di Bumi menjadi korban perdagangan liar. Baik untuk dijadikan makanan, obat-obatan, atau hewan peliharaan. Angka tersebut lebih tinggi dibanding perkiraan peneliti dan menjadi salah satu penyebab kepunahan vertebrata secara global. 

"Setiap tahunnya, miliaran tanaman dan satwa liar diperdagangkan untuk memenuhi permintaan global yang semakin pesat. Saking pesatnya, keuntungan yang mereka dapat bisa mencapai 8-21 miliar dollar AS–menjadikannya salah satu bisnis ilegal terbesar di dunia," papar peneliti. 

Baca Juga: Kekuatan Super Ubur-ubur yang Membantunya Bertahan Hidup di Lautan

Menggunakan data dari Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna (CITES) serta International Union for Conservation of Nature (IUCN), para peneliti mengevaluasi kembali efek perdagangan ilegal pada 31.700 spesies vertebrata. 

Mereka menemukan bahwa 5.579 spesies, atau sekitar 18% dari totalnya, telah dijual secara ilegal. Jika dijabarkan lagi, mencakup 27% mamalia, 23% burung, 12% reptil dan 9% amfibi. 

Dalam upaya meramalkan kondisinya di masa depan sehingga dapat mencegah perdagangan satwa liar, tim peneliti mengembangkan model untuk memprediksi spesies mana yang saat ini belum tersentuh dan memiliki peluang besar untuk diperdagangkan di masa depan.

Menurut para peneliti, ada beberapa spesies yang lebih rentan terhadap penyelundupan dibanding yang lainnya. Misalnya, mereka yang memiliki kesamaan dengan spesies yang tereksploitasi saat ini. 

Selain itu, para ilmuwan menemukan fakta bahwa hewan berbadan besar cenderung lebih sering diperdagangkan dibanding yang bertubuh kecil. Para penyelundup juga cenderung menargetkan satwa liar yang tidak biasa atau menarik perhatian. 

"Meskipun jejak perdagangan liar ditemukan hampir di setiap habitat, tapi  vertebrata sangat mendominasi," ungkap peneliti. 

Baca Juga: Katak Tanduk, Spesies Baru yang Ditemukan di Hutan Kalimantan

Tim peneliti mengakui bahwa memerangi perdagangan satwa liar penuh dengan kompleksitas. Ada faktor ekonomi juga yang berperan. Banyak penyelundup yang melakukan perburuan ilegal karena itu menjadi sumber pendapatan mereka. 

Untuk mencegahnya, para ilmuwan menyarankan adanya kebijakan dengan insentif ekonomi bagi mereka yang melindungi satwa liar. Dengan begitu, masyarakat lokal mungkin akan lebih memilih proteksi dibanding eksploitasi. 

"Hasil studi kami menggarisbawahi pentingnya rencana strategis untuk memerangi perdagangan liar dengan kebijakan yang proaktif daripada reaktif. Perlu diketahuo bahwa spesies dapat dengan cepat beralih dari aman menjadi terancam ketika manusia terus merusak pohon kehidupan," pungkas peneliti.