Meramu Pengalaman Jelajah Pulau Penyengat dan Dinamika Komunitasnya

By Agni Malagina, Selasa, 22 Oktober 2019 | 15:09 WIB
Masjid Raya Sultan Penyengat didirikan pada tahun 1803 dan terbuat dari kayu, dibangun oleh Sultan Mahmud ketika membangun infrastruktur untuk kediaman istrinya – Raja Hamidah putri dari Raja Haji Fisabilillah. Pada tahun 1832, masjid dibangun menjadi bangunan berdinding bata dengan atap beton sederhana berbentuk pelengkung lancip pada masa Yang Dipertuan Muda VII Raja Abul Rahman (1832-1844) menjabat. Di dalam masjid terdapat mihrab ukiran yang didatangkan dari Jepara pada pertengahan abad 18. Juga terdapat lampu kristal hadiah dari Raja Prusia sebagai bentuk uncapan terima kasih kepada pemimpin karena telah menerima Monsiyur Eberhardt Herman Rottger sebagai warga di wilayahnya dengan baik. Monsiyur juga menjalankan misi gereja serta mendirikan “Gereja Ayam” di pusat kota lama Tanjungpinang pada tahun 1832. (Agni Malagina)

Nationalgeographic.co.id - Saya terpikat Penyengat kala pertama berlabuh di pulau yang pernah disebut dengan nama Pulau Mars (Eiland Mars). Perahu pompong kayu bermesin diesel berbahan bakar solar, berukuran panjang sekitar empat meter membawa mengarungi laut yang memisahkan pelabuhan Tanjungpinang dan Pulau  Penyengat. Siang itu terasa panas, cuaca sedang cerah, gelombang pun cukup tenang. Berbeda dengan musim hujan atau musim angin yang membuat warga terkadang mengurungkan niatnya untuk menyeberangi lautan. Dari kejauhan, saya bisa melihat kubah dan menara Masjid Raya Sultan Riau Penyengat yang seolah bersinar diterpa intensitas cahaya matahari yang tinggi di tengah siang bolong.

Hari itu saya ditemani Raja Farul dan Alfi Rizwan menuju Pulau Penyengat untuk jelajah pulau bersama anggota milenial Kelompok Sadar Wisata Pulau Penyengat yang akan mengantar saya mengenal Pulau Penyengat dan manusianya melalui perjalanan dan pengalaman tak biasa. Mereka menyebutnya tur interpretif dan mereka menjadi interpreternya! Saya, menikmati produk pariwisata budaya di Pulau Penyengat selama dua hari! Hari yang padat dengan pengalaman luar biasa dari delapan produk pariwisata Pulau Penyengat. 

Pulau Penyengat, mungkin tak banyak dari kita yang mengenal keberadaan pulau pusat kebudayaan dan literasi Melayu Nusantara bahkan dunia. Sebuah pulau yang memiliki luas tak lebih dari 2 km persegi di wilayah perbatasan Indonesia Singapura, wilayah kelurahan yang menjadi bagian dari Pemerintah Kota Tanjungpinang di Propinsi Kepulauan Riau.

Pulau ini merupakan pusat kebudayaaan Melayu, pusat kajian Melayu Islam ternama di dunia. Ratusan peneliti Indonesia dan akademisi mancanegara datang menyigi Kebudayaan dan Kesusastraan Melayu. Pulau ini istimewa, pulau ini dianggap sebagai pengikat budaya rumpun Melayunya Indonesia, Singapura, Malaysia. Bahkan, di pulau kecil inilah lahir Raja Ali Haji sang penulis Gurindam Dua Belas yang juga mencatatkan tata bahasa Bahasa Melayu dalam kitabnya yang berjudul Bustan al Katibin (1850), peletak dasar tata bahasa Bahasa Indonesia.

Kini, saya mengenal Pulau Penyengat tak hanya membaca literatur namun juga mengenal kehidupan masa lalu dan masa kini masyarakat di Pulau Penyengat melalui cara yang berbeda. Mengikuti perjalanan dipandu interpreter warga pulau yang berkisah tentang warisan budaya nenek moyangnya sejak Pulau Penyengat dijadikan tempat kediaman Engku Putri (Raja Hamidah) sejak tahun 1803. Tak hanya itu, saya mengenal Raja Ali Haji, Roesidijah (Rusidiyah Club), Engku Putri, para penulis dan cendikia Pulau Penyengat yang bergerak di bidang literasi, literasi sebagai alat perjuangan kebangsaan mereka mengritisi pemerintah kolonial masa itu. Tak hanya itu, saya merasakan pengalaman mengenal seni budaya Melayu bersama para interpeter muda. Ya, saya bisa memasak nasi dagang dengan lauk pauknya, meracik es dohot, bahkan membuat tanjak sendiri!

Pengalaman kuliner mencecapi resep khas makanan bangsawan Melayu Pulau Penyengat dengan mengikuti tur interpretasi menjadi santa istimewa karena kisah dari kuliner tersebut lengkap dengan asal bumbu, bahan baku, tata penyajian dan filosofinya. Terutama akibat penggunaan bumbu dan rempah, kita dapat melihat separuh dunia dalam menu masakan Melayu Pulau Penyengat. (Agni Malagina)

Perjalanan saya menulis feature untuk National Geographic Indonesia edisi Oktober 2019 yang berjudul Warisan Sastra Penyengat tak lepas dari pengalaman-pengalaman saya bergaul dengan para interpreter dan kisah-kisah yang mereka tuturkan dalam beberapa pengalaman perjalanan yang bertajuk: 

1. Tur Masjid Raya Sultan Riau (0,5 jam, interpreter Nurfatilla Afidah dan Ziqkri)

2. Tur Sejarah Pulau Penyengat dengan bentor - becak motor (2,5 - 3 jam) atau dengan sepeda (3,5 - 4 jam) - interpreter Pradypta Galeh Jiwandono, Syaiful

3. Tur Literatur (1,5 - 2 jam, interpreter Alfi Rizwan)

4. Pengalaman Berbusana Tradisional Melayu (0,5 - 1 jam, interpreter Surtini, Dian Destiyanti, Evi Nurziana, Hariawan)

5. Pengalaman Kuliner Melayu (1 jam, interpreter Raja Farul dan Nurfatilla Afidah)

6. Pengalaman Gurindam (1,5 jam, interpreter Yola Pratama)

7. Pengalaman Membuat Tanjak (1,5 jam, interpreter Karmila dan Alfi Rizwan)

8. Kelas Memasak (2,5 - 3 jam, interpreter Dwi Rahayu)

Perajalanan saya bersama mereka melalui beberapa titik-titik singgah yang terkait narasi kisah tur sejarah budaya seperti Masjid Raya Sultan Penyengat, tilas tapak lokasi Kutub Khanah, struktur Rumah Tabib, bangunan Balai Maklumat, situs Komplek makam Engku Putri, tapak Mahkamah Syariah, struktur Parit kuno, struktur gedung Rusydiah Club, struktur Istana Kedaton, struktur rumah/gedung hakim, dan bangunan Balai Adat. 

Para interpreter muda itu membuat saya terpikat Penyengat dan perjalanan wisata budaya yang mereka bawakan. Mereka berkisah dengan melibatkan ingatan masa kecil, kebiasaan di rumah, bahkan keluguan dan ketidaktahuan mereka pada kisah tertentu yang menambah kedekatan saya dengan para penutur cerita. Ya, mereka menyiapkan delapan pengalaman wisata interpretasi ini selama satu tahun. Dibantu oleh Wiwien Tribuwani, seorang penggiat pariwisata berkelanjutan dan ahli interpretasi untuk pariwisata asal Bandung, mereka berproses menghabis ratusan jam kerja tanpa bayaran. 

"Ibu Wiwien itu ibu kami, mendampingi dalam masa naik turun sampai kami meluncurkan produk pariwisata ini,"ujar Nur Fatilla yang akrab dipanggil Tilot mengisahkan perjalanan para interpreter mengarungi proses persiapan produk mereka mulai dari persiapan pemetaan, workshop interpretasi, perencanaan produk, sampai uji coba dan famtrip.

"Ibu pernah marah juga, ngambek karena kami lambat sekali menangkap," timpal Raja Farul mengenang satu tahun mereka bergiat sampai akhirnya produk pariwisata Pulau Penyengat diluncurkan secara resmi oleh Pemerintah Kota Tanjungpinang pada tanggal  27 Agustus 2019 setelah melalui tiga kali uji coba dan satu kali familiarization trip (famtrip) yang dihadiri sejumlah pemangku kepentingan pariwisata dari Bintan, Tanjungpinang, Jakarta, dan Bandung termasuk Kementerian Pariwisata Republik Indonesia. 

Kue Anta Kesuma, kuliner manis kudapan khas Melayu yang hanya dibuat pada masa hari raya atau pesta pernikahan. Kue ini berbahan dasar kentang, telur, gula dan santan. (Agni Malagina)

Wiwien sendiri memiliki pengalaman khusus mendampingi kelompok sadar wisata Pulau Penyengat ini.

"Jengkel, pendampingan seperti ini selalu ada mixed feeling karena prosesnya sambil membentuk attitude yang diperlukan, the longer the better, tapi ya ada konsekwensi-konsekwensi dari pendanaan singkat, kesiapan mereka sendiri,"ujar perempuan berambut putih itu sambil tergelak.

"Bayangkan 26 orang menjadi 16 orang, sekarang... entahlah. Itu sampai ada interpreter yang lagi uji coba mau lepas ransel dan ninggalin site. Eh, sekarang sudah lancar cerita," ujar Wiwien yang sering hilir mudik Bandung - Penyengat selama satu tahun ini.

"Awalnya keterlibatan saya ya tanpa hitam di atas putih. Karena ada yang semangat, maka saya senang mendamping. Ya kadang jengkel juga. Bangga, terharu misalnya liat Obi yang pernah menyerah sekarang bisa jauh melangkah,"ujarnya menambahkan kisah awal ia terlibat di Pulau Penyengat. 

"Saya lihat Tilla, dia yang tak pernah terlibat dalam dunia pariwisata, sekarang menjadi motor, dia belajar, dan mengambil manfaat nol rupiah, kemajuan,"ujar Wiwien mengenang para pemuda milenial yang terlibat dalam kegiatan perencanan produk pariwisata Pulau Penyengat. 

"Bahwa mereka bisa membantu tempat-tempat lagi berproses juga, saya melihat mereka menguasai konten, ya walaupun ada beberapa orang yang belum sadar di beberapa aspek, misalnya ya produk sudah berkembang harusnya dibarengi perubahan organisasi menjadi lebih baik. Perlu leadership yang baik! Pokdarwis harus merangkum community business, bukan family atau personal business,"ujar Wiwien yang masih ingin memberikan workshop keorganisasian lebih lanjut bagi Pokdarwis Pulau Penyengat. Ia pun memberikan masukan mengenai pemasaran.

"Pemasaran terutama dengan perjanjian semacam MoU dengan hotel dan lainnya harus disiapkan dengan baik, bukan hanya bundling hotel ya,"ujar Wiwien yang menekankan masih banyak pekerjaan rumah seperti organisasi, homestay dan peningkatan kapasitas bidang kuliner. "Sampah, air dan penghijauan ini urusan semua. Penggunaan plastik perlu dibatasi, bahkan kalau perlu pengunjung pun minimal sampah ya, pulau kecil itu tanpa warganya membuang sampah pun sudah mendapat limpahan sampah dari arus laut,"ungkapnya sambil menekankan bahwa peran CSR perusahaan bisa membantu memberikan kebutuhan dasar. 

"Bukan program mempercantik bukan lipstik ya saya kira, berilah kebutahan  dasar agar Penyengat sehat bukan kosmetik ya. Seperti memulihkan kondisi hijau pulau, memulihkan kondisi air supaya warga tercukupi airnya kala musim kemarau," pungkasnya. 

Ya, saya mendapatkan pengalaman berharga sepanjang proses menulis artikel tentang Pulau Penyengat. Budaya, sejarah, masyarakat yang bersinggungan dengan kegiatan pelestarian, ekonomi, pariwisata, edukasi memang memiliki problematikanya dan proses menjadikan komunitas memiliki dinamika yang membawa perubahan.