Jelajah Tengara-Tengara Cirebon

By Zulkifli, Kamis, 21 November 2019 | 11:32 WIB
Stasiun Cirebon Kejaksan yang tampak memesona ketika pagi tiba. Pada 1911, peletakan batu pertama stasiun ini menandai pembangunan jalur kereta Cirebon-Karawang-Bekasi-Batavia. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id - Jalan Raya Pos yang dibangun Herman Willem Daendels pada 1808 silam mulai memantai ke pesisir utara Pulau Jawa di Kota Cirebon. Sebab jalan di pesisir itu pula kota ini menjadi simpul penggerak moda transportasi darat antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Tapi, sebelum jalan ini terkenal sebagai jalur yang populer ditempuh oleh para pemudik hari raya, pesisir ini lebih dulu masyhur di mata pedagang-pedagang dunia.

Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari menerangkan bahwa rombongan kapal dari Tiongkok pernah berlabuh di Bandar Muara Jati. “Armada Cina singgah untuk membeli bekal sebelum menuju Majapahit,” catat babad yang ditulis oleh Pangeran Arya Cirebon pada 1720 itu. Muara Jati, tempat jangkar-jangkar kapal itu ditambatkan, sekarang bernama Pelabuhan Cirebon.

Baca Juga: Menyusuri Bekasi, Kota Pejuang yang Sempat Membuat Penjajah Gentar

Saya sampai di kota ini ketika hujan baru reda. Selintas, dari dalam mobil yang saya tumpangi, nama daerah yang sedang saya tempuh ini terbaca; Astana. Saya mengingat, sejarah mencatat desa ini sebagai tempat peristirahatan terakhir Sunan Gunung Jati, satu dari sembilan wali yang menyebarkan Islam di daerah-daerah pesisir utara Jawa. Sebelum berpulang, beliau menitip sebuah wasiat. Ingsun titip tajug lan fakir miskin/Saya titip langgar dan fakir miskin, begitu isi pesannya. Sayangnya malam ini saya tak singgah di Astana.

“Di Cirebon ini gue bisa melihat bagaimana bangunan-bangunan tuanya bersanding dengan modernitas,” kata Didi Kaspi Kasim kepada saya. Perpaduan itu, lanjut Didi, sudah menjadi bagian keseharian warga kota ini sejak lama.

Dalam novel Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, Pramoedya Ananta Toer menulis “dan terdapat bagian kota dengan penduduk orang Eropa yang meninggali gedung-gedung yang apik.” Bagian kota yang dicatat Pram itu berada di sekitar bandar di pesisir Cirebon yang menjadi bagian penjelajahan Didi ini.

Salah satu pemandangan Pelabuhan Cirebon. Kota pesisir utara Jawa ini memiliki riwayat panjang sebagai persinggahan pedagang asal India, Cina, dan Eropa. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

Usai zuhur, saya sampai di seberang sebuah bangunan besar di Jalan Pasuketan, Lemahwungkuk. Bangunan itu bergaya Art Deco, gaya arsitektur Barat yang banyak digunakan kolonial Belanda untuk membangun gedung-gedung kebutuhan mereka. Namun, saya tak menemui orang-orang Eropa di sekitar bangunan ini seperti yang ditulis Pram itu. Yang ada hanya beberapa pemuda lokal yang duduk santai trotoar jalan, sekelompok fotografer yang sedang memotret seorang perempuan bergaun merah pucat dengan bahu terbuka, dan sepasang lansia yang bersiap menggelar dagangannya. Beberapa kali saya menyeka keringat. Baju yang saya pakai juga sudah basah oleh peluh. Sore ini, matahari amat menyengat di Cirebon.

“Dulu bekas pabrik rokok putih, tapi sekarang gedung itu kosong” kata Rusmiati, seorang pedagang loakan, kepada saya. Adalah Indo Egyptian Cigarettes Company pemilik awal gedung di seberang saya itu. Masa itu, arsitektur bangunannya belum seperti sekarang. Pada tahun 1923, gedung itu diambil alih oleh produsen tembakau dan rokok di Inggris sana. Oleh mereka, bentuk gedung tersebut diubah seperti apa yang terlihat saat ini. Sembilan tahun lalu gedung itu sudah tak beroperasi lagi. Pemerintah Kota Cirebon kemudian memberi stempel Benda Cagar Budaya pada gedung ini.

“Dulu bekas pabrik rokok putih, tapi sekarang gedung itu kosong” kata Rusmiati, seorang pedagang loakan, kepada saya. Indo Egyptian Cigarettes Company pemilik awal gedung di seberang saya itu. Masa itu, arsitektur bangunannya belum seperti sekarang. Pada 1923, gedung itu diambil alih oleh perusahaan tembakau asal Inggris. Mereka memugar arsitektur gedung itu seperti apa yang terlihat sekarang. Sembilan tahun lalu gedung itu sudah tak beroperasi lagi. Pemerintah Kota Cirebon kemudian memberi stempel Benda Cagar Budaya pada gedung ini.

Ruas jalan di belakang gedung itu penuh oleh barang-barang bekas. Dari lemari kayu, sofa, gelas, hingga baju bekas pakai menumpuk di kiri kanan jalan. Sejak lama kawasan ini memang dikenal sebagai etalasenya barang-barang loakan. Padahal, ruas jalan di antara Jalan Talang dan Jalan Kebumen ini hanya berjarak empat menit saja dari Muara Jati di mana kapal-kapal niaga bangsa asing kerap hilir mudik berabad lampau. Namun, masa jaya maritim itu tak berbekas di sini. “Ini usaha keluarga saya. Udah jalan 20 tahun,” kata Adi Putra. Pria berusia 29 tahun ini duduk di atas lemari kayu bercat hitam. Di hadapannya Ayu Wahyuni, gadis berkulit terang, sedang bersandar di pintu kedai. Di bawah sengat matahari ini, saya mencari teduh di antara barang loakan yang dijaja Adi di depan kedainya.

Penjual mebel bekas di antara Jalan Talang dan Jalan Kebumen, kawasan kota lama Cirebon. ( Zulkifli/National Geographic Indonesia)

Baru beberapa tahun lalu Adi meneruskan usaha keluarganya ini. Dari Adi pula saya tahu bahwa dagangan di sepanjang ruas jalan ini berasal dari barang-barang bekas pakai milik orang-orang yang pindah keluar Cirebon. “Kalau ada kafe-kafe yang bangkrut, ya barangnya kami beli lalu dijual lagi di sini,” ujar Adi. Barang bekas paling mahal yang pernah ia jual adalah sebuah sofa jaguar. Sofa itu dibeli pelanggannya seharga enam juta. Kurang lebih setengah jam saya bercengkerama bersama Adi dan ponakan perempuannya yang berkulit terang itu. Kemudian saya pamit undur diri, meninggalkan kedai Adi, melepaskan pandang dari Ayu Wahyuni.

Pagi, sebelum hawa Cirebon mulai memanas, saya sampai di Jalan Raya Siliwangi. Di jalan ini, lalu lintasnya tak seperti di Bekasi. Padahal, jalan ini adalah tempat di mana Stasiun Cirebon berada. Tak berapa lama setelah saya sampai, moncong sepeda motor yang dikendarai Didi Kaspi Kasim masuk ke dalam pekarangan stasiun. Didi, pria asal Sumatra itu, tak sendiri. Ia datang bersama Soleh Solihun, seorang komika asal Sunda. “Empat kali saya ke sini, saya cuma kenal empal gentong –makanan khas Cirebon saja. Ga tau kalau sejarah kotanya banyak yang menarik,” kata Soleh kepada saya.

“Rencana pembangunan jalur kereta api di Indonesia dipicu oleh Jalan Raya Pos yang dibuat oleh Daendels,” tulis Denys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa Silang Budaya : Batas-Batas Pembaratan. Rencana itu telah muncul sejak 1840, namun tiga puluh tahun kemudian jalur kereta api pertama baru bisa diresmikan.

“Jalur kereta ini semakin memudahkan percampuran budaya dan gerak gagasan-gagasan baru dari kota ke desa,” lanjut Lombard dalam bukunya itu. Staatsspoor-en-Tramwegen in Nederlandsch-Indie –perusahaan kereta api milik kolonial Belanda mulai masuk ke kota ini pada awal abad ke-20.

Penjual ikan di sebuah pusat perbelanjaan tradisional di Cirebon. Perempuan berperan penting dalam usaha kecil menengah di Indonesia. Sebesar 51 persen UKM dimiliki oleh perempuan. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

Sejarah mencatat, enam tahun usai diresmikan, rel-rel Stasiun Cikampek diperpanjang oleh Staatsspoorwegen hingga ke Cirebon. Dan pada 3 Juni 1912, penduduk kota ini mulai mendengar deru kereta api di Stasiun Cirebon. Sejak saat itu, moda sepur di kota ini telah menjadi tempat perlintasan bermacam manusia dan budaya.

Kisah ini merupakan bagian dari jurnal perjalanan National Geographic Indonesia dalam menjelajahi kota-kota pesisir. Didi Kaspi Kasim, Editor in Chief National Geographic Indonesia, bersama Soleh Solihun, jurnalis, akan menyusuri beberapa ruas kawasan di pesisir utara Jawa.

Mereka melakukan misi pengembaraan singkat bertajuk “Jelajah Pesisir Utara Jawa”. Keduanya mengendarai sepeda motor untuk singgah di Bekasi, Cirebon, Pekalongan, dan berujung di Semarang.

Tatik, pemilik toko kelontong SCR, berkunjung ke salah satu UKM emping di Desa Tuk, Cirebon. (Ricky Martin/National Geographic Indonesia)

Baca Juga: National Geographic Indonesia on Assignment: Singkap Riwayat Kota Pesisir Utara Jawa

Tim National Geographic Indonesia juga singgah ke usaha kecil menengah di Desa Tuk. Desa ini merupakan sentra makanan kecil di Cirebon, salah satunya camilan emping. Lewat sebuah distributor milik warga setempat, produksi emping itu diedarkan ke penjuru kota—bahkan kota tetangga, dan juga melalui Pojok Lokal SRC. Pojok Lokal SRC adalah pojok atau rak display di toko kelontong SRC (Sampoerna Retail Community) yang dikhususkan untuk menjual produk – produk Usaha Kecil Menengah (UKM) di sekitar toko kelontong SRC. Tatik Lusia Sari, salah satu pemilik toko kelontong SRC di Cirebon, turut mendorong UKM emping blinjo Desa Tuk supaya lebih berkembang.

Tim jelajah singgah di tempat-tempat yang memiliki jejak sejarah kereta, geliat warga dalam usaha kecil menengah, dan toko kelontong SRC. Penugasan ini digelar selama tujuh hari, 18 – 24 November 2019. Tujuan Jelajah Pesisir Utara Jawa ini adalah menyaksikan aspek-aspek yang membentuk riwayat kota sampai perkembangannya hingga hari ini. Pembangunan infrastruktur Jalan Raya Pos dan jaringan kereta api telah membuat kota-kota menjadi lebih dekat makin kuat.

Simak jurnal perjalanan harian #JelajahPesisirUtaraJawa di akun media sosial dan web National Geographic Indonesia.

#JelajahPesisirUtaraJawa #NGIonAssignment_SRC #DekatMakinKuat