Para Nelayan yang Menyiasati Arah Angin dengan Internet

By National Geographic Indonesia, Kamis, 21 November 2019 | 11:49 WIB
Sanedi, 32 berpose saat di foto di depan kedai ikan miliknya di Jemengan, Bunguran Timur, Pulau Natuna, Selasa, 8 Oktober 2019. Sanedi berjualan ikan menggunakan sistem daring melalui sosial media Facebook sejak 2017. Sanedi merambah penjualan daring karena bisnisnya yang selama ini dikelola dengan sistem luring sepi peminat. (Agoes Rudianto/National Geographic Indonesia)

Erduan menjadi seorang nelayan sejak berusia 23 tahun. Sekali melaut, dirinya bisa berada di luasnya lautan selama berhari-hari. Tidak pernah dalam sehari, dia berangkat laut hari itu dan pulang melaut juga di hari yang sama. Erduan biasa bersiap-siap melaut pukul 9.00 WIB pagi. Begitu berada di laut dia akan berada di perahunya selama empat sampai lima hari. Begitu tangkapan dirasa sudah cukup, barulah Erduan pulang. Tibanya di daratan pun dirinya tidak berlama-lama di rumah. Dua hari kemudian Erduan akan kembali melaut.

Heriman, 42, seorang pengepul ikan tangkapan nelayan berpose saat di foto di Teluk Baruk, Sepempang, Natuna, Selasa, 8 Oktober 2019. Heriman meminjamkan kapalnya untuk digunakan nelayan setempat melaut. Ikan dari nelayan selanjutya dia kirimkan ke pabrik pengolahan untuk didistribusikan ke berbagai wilayah di Indonesia. (Agoes Rudianto/National Geographic Indonesia)

Selama di laut, Erduan melakukan semua kegiat sehari-harinya di kapal. Menginap di kapal, makan di kapal; mandi pun di kapal. Hambatan yang berarti bagi seorang nelayan, menurut Erduan yaitu cuaca dan angin yang buruk. Bagi Erduan, untuk menjadi nelayan, kita harus siap untuk menghadapi segala hambatan yang ada. Dan tentu butuh pengorbanan dan keberaninan untuk melewati itu semua. Kalau belum bisa menghadapi itu semua, tandanya belum bisa jadi nelayan.

Setelah berada di laut, para nelayan sangat sulit mendapatkan jaringan untuk berkomunikasi. Biasanya mereka menggunkan handie talkie untuk berbicara kepada satu sama lain. Dari hasil ikan-ikan yang Erduan tangkap, dia menjualnya ke pengepul dengan kisaran harga dua sampai tiga juta rupiah per seratus kilogram. Namun untuk pendapatan bersihnya, dia hanya mendapat sejumlah satu setengah juta perbulannya. “Alhamdulillah dengan jumlah segitu, kehidupan saya dan keluarga dapat tercukupi,” ujar Erduan.

Selain untuk mengetahui prakiraan cuaca, Erduan dan keluarga juga biasa menggunakan akses internet untuk mempelajari ilmu pegetahuan alam, juga ilmu agama. Dan tentu anak-anaknya menggunakan akses internet dalam pengawasan Erduan. Baginya, internet memiliki dampak positif dan negative sehingga dirinya sebagai kepala keluarga merasa perlu untuk melakuakan pengawasan tersebut.

Usai berbincang dengan Heri dan Erduan, saya mendapat informasi dari seorang kawan di Natuna, bahwa ada seorang penjual ikan yang memasarkan ikan dagangannya secara daring, namanya Sanedi (30). Saya menghubungi kontak tersebut dan mencoba untuk membuat janji pertemuan. Sanedi menjawab bahwa dirinya baru dapat ditemui sore hari karena siang itu dia masih berada di kantor Pengadilan Agama Natuna.

Eduan, 42, nelayan tradisional yang juga seorang pengurus Rukun Nelayan Desa Setempat (RNDS) berpose saat difoto di Teluk Baruk, Sepempang, Pulau Natuna, Selasa, 8 Oktober 2019. RNDS mengelola dana dari pemerintah pusat yang digunakan untuk membangun dermaga baru yang lebih besar di Teluk Baruk. (Agoes Rudianto/National Geographic Indonesia)

Akhirnya sore itu saya bertemu dengan Sanedi, dia masih menggunakan pakaian kantor-kantor berwarna cokelat-cokelat sewaktu saya temui. Pekerjaan utama Sanedi adalah petugas administrasi di Pengadilan Agama Natuna. Menjual ikan merupakan pekerjaan sampingannya yang dia lakukan bersama istrinya. Sebelum menjual ikan, Sanedi sempat berjualan es krim. Dia baru menjual ikan sejak tahun 2015, dan menjualnya secara daring baru pada 2017.

Ikan-ikan yang Sanedi jual paling banyak yaitu ikan tongkol. Dia mulai melakukan persiapan berjualan dari pukul 6.00 WIB pagi; Sanedi membuat arang dari batok kelapa untuk membuat ikan tongkol asap.  Kemudian, dia mempromosikan ikan dagangannya di media sosial. Selama Sanedi bekerja, penjualan ikan dilakukan oleh istrinya dan dilaksanakan secara luring. Sewaktu berjualan secara biasa, belum daring, Sanedi pernah mendapati ikan dagangannya sepi pembeli. Mulai saat itu Sanedi mencoba untuk berjualan secara daring.

Baca Juga: Internet Cepat di Kepulauan Natuna Berhasil Melahirkan Lapangan Kerja Baru

Semua pesanan yang masuk lewat media sosial akan Sanedi kirimkan pada siang hari di sela-sela jam dia bekerja. Istrinya menjemput anak di sekolah, dan pekerjaan dilanjutkan kembali oleh Sanedi.  Usai mengantarkan seluruh pesanan, Sanedi kembali berangkat kerja ke Pengadilan Agama dan pekerjaan menjual ikan dilakukan oleh istrinya hingga Sanedi kembali pulang pada sorenya. Selama dia melakuakan pengiriman, paling jauh yaitu ke daerah Bandar Sah dan memakan waktu pergi-pulang selama tiga puluh menit. Untuk semua pesanan yang Sanedi kirimkan, dia tidak memberlakukan ongkos kirim; semuanya gratis.

Penghasilan bersih yang Sanedi dan keluarganya dapat per bulannya yaitu sekitar lima juta rupiah. Sanedi bersyukur dengan jumlah tersebut, dia dapat menghidupi keluarga. “Internet di daerah Natuna ini sekarang sudah bagus. Dulu belum ada 4G, kini sudah ada,” tutur Sanedi. “Hambatan-hambatan (dalam berjualan) kini berkurang dengan adanya internet.”

Heriman, 42, seorang pengepul ikan tangkapan nelayan mengakses internet menggunakan gawai di Teluk Baruk, Sepempang, Natuna, Selasa, 8 Oktober 2019. Akses internet dimanfaatkan Heriman untuk bertukarkabar dengan nelayan di Sangihe, Sulawesi Utara. Selain itu, teknologi komunikasi juga dia gunakan untuk mengakses aplikasi pemantau cuaca dan arah angin. (Agoes Rudianto/National Geographic Indonesia)