Toko Kelontong Bersiasat Di Tengah Arus Modernitas

By National Geographic Indonesia, Jumat, 22 November 2019 | 10:20 WIB
Salah satu gedung Cagar Budaya di Kota Cirebon. Gedung ini penanda masa jaya perniagaan Cirebon. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id - Dulu, Cirebon adalah kota bandar yang sibuk. Kapal-kapal niaga saling hilir mudik di pesisir kota ini. “Cirebon sejak semula memang  kota  bandar  internasional, tempat membongkar dan melepas jangkar bagi kapal-kapal dagang Cina dan India,” tulis Pramoedya Ananta Toer dalam Jalan Raya Pos, Jalan Daendels. Di sekitar bandar itu, kata Pram dalam bukunya, gedung- gedung bergaya Eropa dibangun. Kawasan itu sekarang dikenal sebagai Kota Tua Cirebon.

Rumah Tatik Lusia Sari berada tak jauh dari Kota Tua Cirebon. Jalan di depan rumahnya tak terlalu lebar, namun cukup untuk dua mobil saling bersisian. “Awal-awal buka dulu toko saya kecil. Kurang lebih 1,5 meter lebarnya,” kata Tatik. Ia mulai membuka toko kelontongnya pada tahun 2007 lalu. Beberapa tahun kemudian, tokonya diperluas dengan mengorbankan garasi mobil miliknya.

Baca Juga: Jelajah Tengara-Tengara Cirebon

Tatik Lusia Sari berpose di dalam toko kelontongnya. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

Sejak tahun 2013, toko kelontong Tatik tercatat sebagai salah satu pemilik Toko Kelontong SRC (Sampoerna Retail Community) di Kota Cirebon. “Syarat masuknya mudah, bangunan harus milik sendiri” kata perempuan berusia 42 tahun itu. Masa awal bergabung dalam komunitas ini, Tatik diberikan pengetahuan tentang pengembangan usaha oleh SRC. “Setiap minggu dikasih arahan dan ilmu pemasaran,” ujar Tatik menceritakan tahun-tahun pertama ia bergabung bersama SRC.

“Praktik edukasi kepada toko-toko kelontong awalnya kita lakukan di Medan,” kata Henny Susanto, Head of commercial business development SRC. Di Ibukota Provinsi Sumatera Utara itu proyek edukasi tersebut dilakukan. Teknologi yang berkembang pesat turut bertanggungjawab terhadap berubahnya perilaku konsumen-konsumen lokal. Untuk bisa bertahan hidup, toko- toko tradisional dituntut untuk bisa beradaptasi. “Banyak pemilik toko kelontong yang mengeluh karena menurunnya omset mereka,” kata Henny. Penurunan itu dikarenakan hadirnya toko-toko dengan konsep modern di kota itu. “Dari situ muncul ide untuk melakukan pembinaan ke toko-toko kelontong,” lanjut Henny.

Tatik menunjukkan aplikasi Ayo SRC. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

“Gak boleh ada gantungan. Toko harus rapi, bersih, dan terang,” kata Tatik di dalam tokonya. Visi SRC untuk turut memajukan Usaha Kecil Menengah di daerah-daerah di Indonesia menarik perhatian Tatik. Sebab visi itu ia bersedia bergabung bersama SRC. Di masa menjamurnya pusat belanja modern peritel tradisional harus bisa bersiasat di tengah arus modernisasi agar tetap bertahan dan berdaya saing dalam dunia dagang Indonesia.

Di satu sisi toko Tatik, produk lokal dipajang. Salah satunya kue lado. “Waktu di acara paguyuban dulu, saya melihat seorang anggota membawa kue lado. Tapi, makanan ringan itu tidak bermerek,” kata Tatik. Tatik terdorong untuk mengembangkan produk yang dibawa temannya itu. “Saya membantu bikin labelnya,” tambah Tatik. Kemudian kue lado itu ia pasarkan di toko kelontong miliknya.

Baca Juga: National Geographic Indonesia on Assignment: Singkap Riwayat Kota Pesisir Utara Jawa

Langkah awal yang dilakukan Tatik itu mendapat respon baik dari warga di sekeliling tokonya berada. Hingga saat ini sudah ada sepuluh produk lokal yang ditaruh di rak Pojok Lokal SRC dalam tokonya. “Saya senang bisa bantu tetangga. Kita jadi sama-sama maju bersama,” ujar Tatik.

Pekerjaan Tatik belum selesai. Begitu pula dengan SRC. Kegiatan-kegiatan pembinaan usaha kecil milik warga masih terus dilakukan. Pemberdayaan yang dilakukan ini adalah salah satu cara untuk agar usah-usaha kecil tidak tumbang di tengah menjamurnya pusat-pusat perbelanjaan modern. “Harapan saya usaha-usaha kecil di lingkungan saya ini bisa sama-sama sukses,” kata Tatik.