Nationalgeographic.co.id - Jalan Raya Pos yang dibangun Herman Willem Daendels pada 1808 silam mulai memantai ke pesisir utara Pulau Jawa di Kota Cirebon. Sebab jalan di pesisir itu pula kota ini menjadi simpul penggerak moda transportasi darat antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Tapi, sebelum jalan ini terkenal sebagai jalur yang populer ditempuh oleh para pemudik hari raya, pesisir ini lebih dulu masyhur di mata pedagang-pedagang dunia.
Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari menerangkan bahwa rombongan kapal dari Tiongkok pernah berlabuh di Bandar Muara Jati. “Armada Cina singgah untuk membeli bekal sebelum menuju Majapahit,” catat babad yang ditulis oleh Pangeran Arya Cirebon pada 1720 itu. Muara Jati, tempat jangkar-jangkar kapal itu ditambatkan, sekarang bernama Pelabuhan Cirebon.
Baca Juga: Menyusuri Bekasi, Kota Pejuang yang Sempat Membuat Penjajah Gentar
Saya sampai di kota ini ketika hujan baru reda. Selintas, dari dalam mobil yang saya tumpangi, nama daerah yang sedang saya tempuh ini terbaca; Astana. Saya mengingat, sejarah mencatat desa ini sebagai tempat peristirahatan terakhir Sunan Gunung Jati, satu dari sembilan wali yang menyebarkan Islam di daerah-daerah pesisir utara Jawa. Sebelum berpulang, beliau menitip sebuah wasiat. Ingsun titip tajug lan fakir miskin/Saya titip langgar dan fakir miskin, begitu isi pesannya. Sayangnya malam ini saya tak singgah di Astana.
“Di Cirebon ini gue bisa melihat bagaimana bangunan-bangunan tuanya bersanding dengan modernitas,” kata Didi Kaspi Kasim kepada saya. Perpaduan itu, lanjut Didi, sudah menjadi bagian keseharian warga kota ini sejak lama.
Dalam novel Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, Pramoedya Ananta Toer menulis “dan terdapat bagian kota dengan penduduk orang Eropa yang meninggali gedung-gedung yang apik.” Bagian kota yang dicatat Pram itu berada di sekitar bandar di pesisir Cirebon yang menjadi bagian penjelajahan Didi ini.
Usai zuhur, saya sampai di seberang sebuah bangunan besar di Jalan Pasuketan, Lemahwungkuk. Bangunan itu bergaya Art Deco, gaya arsitektur Barat yang banyak digunakan kolonial Belanda untuk membangun gedung-gedung kebutuhan mereka. Namun, saya tak menemui orang-orang Eropa di sekitar bangunan ini seperti yang ditulis Pram itu. Yang ada hanya beberapa pemuda lokal yang duduk santai trotoar jalan, sekelompok fotografer yang sedang memotret seorang perempuan bergaun merah pucat dengan bahu terbuka, dan sepasang lansia yang bersiap menggelar dagangannya. Beberapa kali saya menyeka keringat. Baju yang saya pakai juga sudah basah oleh peluh. Sore ini, matahari amat menyengat di Cirebon.
“Dulu bekas pabrik rokok putih, tapi sekarang gedung itu kosong” kata Rusmiati, seorang pedagang loakan, kepada saya. Adalah Indo Egyptian Cigarettes Company pemilik awal gedung di seberang saya itu. Masa itu, arsitektur bangunannya belum seperti sekarang. Pada tahun 1923, gedung itu diambil alih oleh produsen tembakau dan rokok di Inggris sana. Oleh mereka, bentuk gedung tersebut diubah seperti apa yang terlihat saat ini. Sembilan tahun lalu gedung itu sudah tak beroperasi lagi. Pemerintah Kota Cirebon kemudian memberi stempel Benda Cagar Budaya pada gedung ini.
“Dulu bekas pabrik rokok putih, tapi sekarang gedung itu kosong” kata Rusmiati, seorang pedagang loakan, kepada saya. Indo Egyptian Cigarettes Company pemilik awal gedung di seberang saya itu. Masa itu, arsitektur bangunannya belum seperti sekarang. Pada 1923, gedung itu diambil alih oleh perusahaan tembakau asal Inggris. Mereka memugar arsitektur gedung itu seperti apa yang terlihat sekarang. Sembilan tahun lalu gedung itu sudah tak beroperasi lagi. Pemerintah Kota Cirebon kemudian memberi stempel Benda Cagar Budaya pada gedung ini.
Ruas jalan di belakang gedung itu penuh oleh barang-barang bekas. Dari lemari kayu, sofa, gelas, hingga baju bekas pakai menumpuk di kiri kanan jalan. Sejak lama kawasan ini memang dikenal sebagai etalasenya barang-barang loakan. Padahal, ruas jalan di antara Jalan Talang dan Jalan Kebumen ini hanya berjarak empat menit saja dari Muara Jati di mana kapal-kapal niaga bangsa asing kerap hilir mudik berabad lampau. Namun, masa jaya maritim itu tak berbekas di sini. “Ini usaha keluarga saya. Udah jalan 20 tahun,” kata Adi Putra. Pria berusia 29 tahun ini duduk di atas lemari kayu bercat hitam. Di hadapannya Ayu Wahyuni, gadis berkulit terang, sedang bersandar di pintu kedai. Di bawah sengat matahari ini, saya mencari teduh di antara barang loakan yang dijaja Adi di depan kedainya.
Penulis | : | Zulkifli |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR