Nationalgeographic.co.id—Gubernur Bali Wayan Koster mengeluarkan Surat Edaran (SE) nomor 9 tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih. Salah satu poinnya adalah melarang pelaku usaha memproduksi, mendistribusikan, dan menyediakan air minum kemasan plastik sekali pakai di wilayah Bali.
Pulau Dewata ditargetkan terbebas dari sampah air minum dalam kemasan (AMDK) plastik sekali pakai ukuran di bawah 1 liter pada tahun 2026. Kebijakan ini bertujuan untuk menekan jumlah limbah plastik, yang saat ini menyumbang sekitar 17 persen dari total 3.500 ton sampah harian.
Masalah sampah terutama sampah plastik di Indonesia tentu memerlukan penanganan yang serius dan segera. Apalagi, ketika sampah-sampah plastik di Indonesia tak hanya berasal dari dalam negeri, namun juga kiriman dari luar negeri.
Masalah ini turut menjadi sorotan salah satu rapper Amerika, Azealia Banks. Melalui akun media sosial miliknya, Azealia menyuarakan kegelisahannya tentang nasib Indonesia yang kerap mendapat kiriman sampah dari berbagai negara.
Kekhawatiran Azelia ini bukan sekedar sensasi belaka. Ada bukti nyata bahwa beberapa daerah di Indonesia dikelilingi tumpukan sampah kiriman dari negara lain.
Menurut laporan Channel News Asia pada 7 Juli 2019, Desa Bangun dipenuhi tumpukan sampah, asap hitam dan logam bengkok. Jalanan dan halaman rumah warga setempat dipenuhi buangan barang-barang rumah tangga, kemasan makanan, dan produk perawatan pribadi. Secara perlahan, desa ini ditelan oleh plastik dari negara-negara maju.
Ironisnya, sebagian besar penduduk desa di sini menyambut baik keberadaan sampah plastik tersebut. Mereka bahkan bergantung pada pendapatan yang diperoleh dari sampah-sampah tersebut, botol air minum dari Korea dan bungkus biskuit dari Inggris.
Truk-truk dari pabrik di sekitar desa itulah yang mengirimkan tumpukan-tumpukan sampah plastik baru itu untuk diperiksa dan dipilah oleh warga desa.
Warga bahkan membayar kiriman sampah tersebut dan berharap bisa mendapatkan setidaknya dua kali lipat uangnya setelah mereka memilah-milah barang berharga, seperti potongan logam dari kaleng dan kabel. Sampah yang tersisa bisa dijual ke pabrik tahu lokal yang membakar plastik sebagai bahan bakar.
Warga setempat tidak tahu dari mana semua sampah ini berasal, apakah benar-benar dari luar negeri atau tidak, karena mereka butuh uang.
Baca Juga: Waspada Timbulan 72 Ribu Ton Sampah Saat Mudik Lebaran 2025, Pemerintah Siapkan Strategi
Penulis | : | Tatik Ariyani |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR