Desa Bangun berada di sekitar empat pabrik kertas, yang mengeluarkan asap pekat ke udara melalui menara pembuangan yang tinggi.
Pabrik-pabrik seperti ini di seluruh Indonesia merupakan importir utama kertas bekas, untuk memproduksi barang-barang seperti kemasan industri, papan partikel, dan karton bergelombang.
Namun semakin lama, dan terutama sejak tahun 2018, pengiriman yang tiba di pelabuhan Indonesia dari seluruh dunia mengandung rahasia kotor. Pengiriman tersebut dikemas penuh dengan barang-barang lain (sampah-sampah) dengan memanfaatkan kebijakan impor Indonesia yang lembek.
Berdasarkan penelitian lapangan yang ekstensif, organisasi nonpemerintah lingkungan Ecoton memperkirakan bahwa sekitar 20 persen dari pengiriman kertas bekas pada umumnya terdiri dari barang-barang lain, biasanya jenis barang yang dibuang untuk didaur ulang oleh rumah tangga dan bisnis di negara lain.
"Ini penyelundupan. Ini ilegal. Ini tidak sehat," kata direktur eksekutif Ecoton, Prigi Arisandi, dikutip dari CNA. Ia mengatakan secara historis, biasanya tingkat sampah yang terbawa secara tidak sengaja dalam pengiriman hanya sekitar 2 persen bukan sengaja menjejalkan sampah untuk ditangani Indonesia.
Namun sistem tersebut berubah setelah China membuat keputusan pada bulan Januari tahun 2018 yang menyebabkan sistem daur ulang dunia keluar dari porosnya.
China, yang selama ini menjadi pengumpul dan pengelola sebagian besar sampah plastik dari seluruh dunia, memutuskan untuk berhenti mengimpor barang-barang tersebut. Keputusan ini memicu kebingungan di antara negara-negara lain yang bergantung pada pengiriman barang daur ulang ke China.
China sendiri telah menyadari kerusakan lingkungan yang terjadi secara lokal pada udara dan airnya karena pengelolaan sampah plastik dari seluruh dunia tersebut, sehingga China kemudian menutup pintunya.
Setelah perubahan kebijakan tersebut, barang-barang daur ulang mulai menumpuk di tempat-tempat seperti Amerika Serikat dan Australia, dan solusinya segera ditemukan di Asia Tenggara oleh para importir yang ingin mendapatkan keuntungan dalam masalah ini. Pengolahan bahan-bahan tertentu tetap sangat menguntungkan dan banyak yang masih dijual ke China dalam bentuk yang lebih bersih.
Jumlah plastik yang tiba-tiba dialihkan ke negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina melonjak drastis. Hanya dalam kurun waktu dua tahun, angka impor sampah plastik meningkat hingga 171 persen di antara negara-negara ASEAN, menurut sebuah studi oleh Greenpeace.
Di Malaysia, dampaknya sangat besar dengan impor pada tahun 2018 mencapai 872.897 ton, meningkat lebih dari 300 persen dari tahun 2016.
Baca Juga: Sustainability: Indonesia Wajib Belajar, 3 Negara Ini Buat Aturan untuk Cegah Sampah Mode
Penulis | : | Tatik Ariyani |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR