Baru beberapa tahun lalu Adi meneruskan usaha keluarganya ini. Dari Adi pula saya tahu bahwa dagangan di sepanjang ruas jalan ini berasal dari barang-barang bekas pakai milik orang-orang yang pindah keluar Cirebon. “Kalau ada kafe-kafe yang bangkrut, ya barangnya kami beli lalu dijual lagi di sini,” ujar Adi. Barang bekas paling mahal yang pernah ia jual adalah sebuah sofa jaguar. Sofa itu dibeli pelanggannya seharga enam juta. Kurang lebih setengah jam saya bercengkerama bersama Adi dan ponakan perempuannya yang berkulit terang itu. Kemudian saya pamit undur diri, meninggalkan kedai Adi, melepaskan pandang dari Ayu Wahyuni.
Pagi, sebelum hawa Cirebon mulai memanas, saya sampai di Jalan Raya Siliwangi. Di jalan ini, lalu lintasnya tak seperti di Bekasi. Padahal, jalan ini adalah tempat di mana Stasiun Cirebon berada. Tak berapa lama setelah saya sampai, moncong sepeda motor yang dikendarai Didi Kaspi Kasim masuk ke dalam pekarangan stasiun. Didi, pria asal Sumatra itu, tak sendiri. Ia datang bersama Soleh Solihun, seorang komika asal Sunda. “Empat kali saya ke sini, saya cuma kenal empal gentong –makanan khas Cirebon saja. Ga tau kalau sejarah kotanya banyak yang menarik,” kata Soleh kepada saya.
“Rencana pembangunan jalur kereta api di Indonesia dipicu oleh Jalan Raya Pos yang dibuat oleh Daendels,” tulis Denys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa Silang Budaya : Batas-Batas Pembaratan. Rencana itu telah muncul sejak 1840, namun tiga puluh tahun kemudian jalur kereta api pertama baru bisa diresmikan.
“Jalur kereta ini semakin memudahkan percampuran budaya dan gerak gagasan-gagasan baru dari kota ke desa,” lanjut Lombard dalam bukunya itu. Staatsspoor-en-Tramwegen in Nederlandsch-Indie –perusahaan kereta api milik kolonial Belanda mulai masuk ke kota ini pada awal abad ke-20.
Sejarah mencatat, enam tahun usai diresmikan, rel-rel Stasiun Cikampek diperpanjang oleh Staatsspoorwegen hingga ke Cirebon. Dan pada 3 Juni 1912, penduduk kota ini mulai mendengar deru kereta api di Stasiun Cirebon. Sejak saat itu, moda sepur di kota ini telah menjadi tempat perlintasan bermacam manusia dan budaya.
Kisah ini merupakan bagian dari jurnal perjalanan National Geographic Indonesia dalam menjelajahi kota-kota pesisir. Didi Kaspi Kasim, Editor in Chief National Geographic Indonesia, bersama Soleh Solihun, jurnalis, akan menyusuri beberapa ruas kawasan di pesisir utara Jawa.
Mereka melakukan misi pengembaraan singkat bertajuk “Jelajah Pesisir Utara Jawa”. Keduanya mengendarai sepeda motor untuk singgah di Bekasi, Cirebon, Pekalongan, dan berujung di Semarang.
Baca Juga: National Geographic Indonesia on Assignment: Singkap Riwayat Kota Pesisir Utara Jawa
Tim National Geographic Indonesia juga singgah ke usaha kecil menengah di Desa Tuk. Desa ini merupakan sentra makanan kecil di Cirebon, salah satunya camilan emping. Lewat sebuah distributor milik warga setempat, produksi emping itu diedarkan ke penjuru kota—bahkan kota tetangga, dan juga melalui Pojok Lokal SRC. Pojok Lokal SRC adalah pojok atau rak display di toko kelontong SRC (Sampoerna Retail Community) yang dikhususkan untuk menjual produk – produk Usaha Kecil Menengah (UKM) di sekitar toko kelontong SRC. Tatik Lusia Sari, salah satu pemilik toko kelontong SRC di Cirebon, turut mendorong UKM emping blinjo Desa Tuk supaya lebih berkembang.
Tim jelajah singgah di tempat-tempat yang memiliki jejak sejarah kereta, geliat warga dalam usaha kecil menengah, dan toko kelontong SRC. Penugasan ini digelar selama tujuh hari, 18 – 24 November 2019. Tujuan Jelajah Pesisir Utara Jawa ini adalah menyaksikan aspek-aspek yang membentuk riwayat kota sampai perkembangannya hingga hari ini. Pembangunan infrastruktur Jalan Raya Pos dan jaringan kereta api telah membuat kota-kota menjadi lebih dekat makin kuat.
Simak jurnal perjalanan harian #JelajahPesisirUtaraJawa di akun media sosial dan web National Geographic Indonesia.
#JelajahPesisirUtaraJawa #NGIonAssignment_SRC #DekatMakinKuat
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Penulis | : | Zulkifli |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR