Nationalgeographic.co.id - Di sudut perempatan jalan jalur utama masuk kampung Pugima, nampak timbunan pasir dalam karung-karung ukuran 50 kilogram. Di sebelahnya ada sepetak dataran yang dibuat dengan semen ukuran dua meter persegi. Cerita warga setempat, petakan itu pernah dipakai untuk landasan helikopter.
Awal Januari 2019, di kampung Pugima, Distrik Walelagama, Kabupaten Jayawijaya, Papua, menjadi titik penyimpanan material pembuatan menara base transceiver station (BTS) di kawasan pegunungan tengah Papua.
Baca Juga: Kehadiran Jaringan Palapa Ring Tengah di Kepulauan Sangihe
Pembuatan menara itu adalah bagian dari proyek Palapa Ring, proyek nasional pembangunan jaringan tulang punggung serat optik yang menjangkau seluruh kawasan nusantara. Harapannya proyek itu bisa menyediakan akses komunikasi dan koneksi internet yang stabil di seluruh Indonesia.
"Kami kerja ada sekitar dua bulan, pikul pasir, besi, semen dan material lain dari truk ke helikopter", kata Olivensius Halitopo, 23, warga kampung Pugima, yang sempat menjadi pekerja proyek.
Sejumlah lokasi pembuatan menara berada di kawasan dengan topografi yang sulit diakses dan belum tersedia jalan darat. Karenanya, helikopter dipakai untuk mendistribusikan material di sejumlah lokasi di kawasan pegunungan tengah Papua, di sekitar Kabupaten Jayawijaya. Salah satu menara yang dibuat di gunung yang berbatasan antara Distrik Walelagama dan Distrik Itlay Hisage.
Kini, dari arah kampung Pugima, menara BTS baru itu bisa terlihat. Oliven berharap proyek ini bisa membuat kampung Pugima bisa dijangkau oleh jaringan sinyal telekomunikasi.
Kampung Pugima sendiri berjarak sekitar 8 kilometer dari Wamena, dengan waktu tempuh 30 menit karena akses jalan, belum tersedia jaringan sinyal.
"Jangan tanya sinyal internet, mau menelpon atau kirim sms (pesan singkat) saja setengah mati", kata Oliven. Biasanya perlu mencari lokasi tertentu di kampung, agar bisa mendapat jaringan seluler.
Ya, telepon genggam masa kini, yang biasa disebut smartphone, mustahil bisa mendapat jaringan di kampung Pugima. Jamak yang dipakai oleh warga setempat adalah telepon genggam masa lalu, yang belum menyediakan fasilitas untuk mengakses internet.
Orang Papua menyebutnya "hp kayu", telepon genggam jenis begitu biasanya di kampung-kampung yang terbatas jaringan di seluruh Papua.
"Orang kampung biasanya masak pakai kayu to, kalau orang kota masak pakai kompor minyak tanah atau kompor gas," seloroh Natalia Itlay, 30, menjelaskan asal muasal sebutan "hp kayu".
Semisal ada orang yang menenteng smartphone di kampung biasanya difungsikan sebagai pemutar lagu atau video. Sesekali si pemilik smartphone akan membawa earphone.
Baca Juga: Internet Cepat di Kepulauan Natuna Berhasil Melahirkan Lapangan Kerja Baru
Namun kini, dengan adanya proyek Palapa Ring yang populer disebut tol langit, jaringan sinyal pun bisa didapat hingga wilayah pelosok. Sebagian masyarakat di pegunungan tengah Papua pun, menyambut dengan senang. Jika ada jaringan dan koneksi internet stabil, warga Pugima tak perlu harus ke Wamena untuk menelpon atau mengakses internet.
“Pembuatan tower ini sangat penting bagi kami masyarakat. Kami juga mau mengikuti perkembangan berita seperti teman-teman kami di kota yang sudah maju seperti Jayapura, Timika dan Indonesia bagian barat,” pungkas Natalia.