Langkah Kecil untuk Lebih Ramah Lingkungan? Beralih ke Bambu

By National Geographic Indonesia, Minggu, 26 Januari 2020 | 10:00 WIB
Kumpulan plastik di lautan. (Magnus Larsson/Getty Images/iStockphoto)

Nationalgeographic.co.id – Plastik kini kita temukan hampir di setiap tempat. Sejak 1950-an, jumlah produksi plastik meningkat jauh lebih cepat dibanding material lainnya—dan ini menjadi tren yang mengkhawatirkan.

Data dari UN Environment menyatakan bahwa secara global, manusia menghasilkan 300 juta ton plastik setiap tahunnya. Namun, hanya 9% yang berhasil digunakan kembali atau didaur ulang. Sekitar 12%-nya telah dibakar dan sisanya menumpuk di tempat pembuangan sampah atau berakhir di lautan. Ini sangat mengkhawatirkan karena tidak hanya mengotori lingkungan, sampah plastik juga berbahaya bagi ekosistem yang tinggal di sana. Diketahui bahwa 1 dari 3 spesies hewan laut ditemukan mati terjerat sampah plastik. Dan sekitar 90% burung laut memiliki potongan plastik di perutnya.

Tak dapat dipungkiri, plastik memang sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Sikat gigi yang kita gunakan setiap hari pun terbuat dari plastik.

Baca Juga: LastSwab, Cotton Bud Ramah Lingkungan yang Bisa Dipakai Berkali-kali

Selama berabad-abad, sebenarnya sikat gigi terbuat dari bahan alami. Namun, pada awal abad ke-20, para produsen mulai menggantinya dengan plastik dan sejak saat itu tidak pernah berganti ke material lainnya. Jumlah total sikat gigi plastik yang diproduksi, digunakan, dan dibuang setiap tahunnya terus bertambah sejak yang pertama kali dibuat pada 1930-an.

Membuang satu sikat gigi plastik tampaknya memang tidak berbahaya, tapi asumsikan jika kita mengganti sikat gigi tiga bulan sekali, berarti ada empat sikat gigi di tempat sampah kita setiap tahunnya. Bayangkan jika ada tujuh miliar orang di dunia yang melakukan hal serupa, maka ada 28 miliar sikat gigi plastik yang dibuang setiap tahunnya.Perlu diperhatikan bahwa plastik memiliki sifat sulit terurai. Jadi, sikat gigi plastik yang kita gunakan saat kanak-kanak mungkin masih ada di luar sana dan belum hancur sama sekali.

Yang lebih menyedihkan, sampah kita tersebut berakhir di perut hewan-hewan laut. Seperti yang terjadi pada burung albatross di Midway Atoll ini misalnya. “Saya ingat pernah melihat induk dan anak burung yang kesulitan mengunyah sesuatu. Ketika diperhatikan lebih dekat, ternyata induk itu sedang berusaha menghancurkan sikat gigi plastik agar sang anak bisa memakannya,” cerita Wieteke Holthujizen, peneliti burung yang bertugas di Midway.

Cara sederhana untuk membuat perbedaan adalah dengan beralih ke produk yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. Salah satunya dengan sikat gigi berbahan dasar bambu. Bahan alami ini menjadi alternatif luar biasa dari plastik karena sama-sama kuat dan tahan lama.

Bedanya, bambu bersifat biodegradable, yakni memiliki kemampuan untuk terurai dengan aman dan relatif cepat serta dapat membaur kembali ke lingkungan. Bambu juga mampu tumbuh dengan cepat—2-3 kaki dalam waktu 24 jam. Artinya, lebih sedikit area yang diperlukan untuk menanamnya sehingga kehidupan yang berada di sekitarnya tidak tersentuh sama sekali dan tidak terancam punah. 

Untuk lingkungan sendiri, bambu memiliki manfaat yang menakjubkan karena tanaman ini secara efisien menyimpan karbon. Ia menyerap karbondioksida dua kali lebih banyak dibanding pohon. Juga menghasilkan oksigen dalam jumlah besar—30% lebih banyak dibanding tanaman lain.

Selain itu, tanaman bambu memiliki akar kuat yang membuat tanah lebih stabil. Dengan kata lain, ia dapat menstabilkan dan memulihkan tanah, serta mencegah tanah longsor. Jadi, di negara-negara yang rawan longsor, bambu bisa menjadi pilihan yang baik.

Tak lagi memakai bahan dasar plastik, Pepsodent Natural Bamboo menjadi sikat gigi ramah lingkungan pertama di Indonesia karena menggunakan bahan bambu. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)