Monolog Wanodja Soenda, Kisah Perjuangan Tiga Perempuan Sunda Era Hindia Belanda

By Gita Laras Widyaningrum, Jumat, 31 Januari 2020 | 13:55 WIB
Sita Nursanti memerankan Dewi Sartika dalam pertunjukkan Monolog Wanodja Soenda. (Aga Pratama/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id – Kisah perjuangan tiga perempuan Sunda di era Hindia Belanda, dihadirkan dalam Monolog Wanodja Soenda yang diselenggarakan di Grand Ballroom Hotel Savoy Homann, Bandung, pada (29/1).

Pertunjukkan ini menghadirkan suasana Bandung tahun 1850 hingga 1930-an dan menceritakan semangat perlawanan tiga perempuan Sunda yang berkiprah di bidang politik, pendidikan, dan seni budaya. Mereka adalah Raden Dewi Sartika (yang diperankan Sita Nursanti), Lasminingrat (Maudy Koesnaedi) dan Ema Poeradiredja (Rieke Dyah Pitaloka).

Baca Juga: Kisah Para Difabel di Cibinong Pantang Menyerah Menggapai Impian

Monolog dibuka dengan kisah Ema Poeradiredja yang aktif sebagai anggota Jong Java dan Jong Islamieten Bond (JIB). Bagaimana ia terlibat dalam Kongres Pemuda hingga akhirnya menjadi perempuan pertama yang duduk di Dewan Kota Bandung.

Selanjutnya, penonton diajak menyimak kisah Dewi Sartika yang memperjuangkan pendidikan bagi anak-anak perempuan. Ia kemudian mendirikan Sakola Istri, sekolah khusus perempuan pertama di Hindia Belanda.

Kisah ketiga menceritakan peran Lasminingrat yang kerap menerjemahkan buku-buku Belanda ke bahasa Sunda. Melalui karya-karya sastra yang disadurnya, Lasminingrat ingin masyarakat Indonesia ‘keluar dari gua yang gelap’ dan mendapat pengetahuan.

Maudy Koesnaedi memerankan Lasminingrat. (Aga Pratama/National Geographic Indonesia)

Tiga tokoh tersebut memaknai perjuangan dalam garis sejarah yang terhubung oleh tali semangat perubahan. Bagaimana mereka berani bertindak dan mengambil peranan besar di tengah-tengah diskriminasi dan penindasan. Hal inilah yang menginspirasi Heni Smith, produser sekaligus direktur The Lodge Group, untuk mengangkat kisah mereka dalam pertunjukkan monolog.

“Saya terinpirasi dari kebebasan wanita Indonesia dalam berkarya. Kita bisa menjadi wanita sekarang ini karena ada perjuangan di zaman dahulu kala. Wanita-wanita pejuang itu lah yang membuat kita bisa setara,” katanya saat ditemui di konferensi pers Monolog Wanodja Soenda.

Salah satu adegan di Wanodja Soenda, saat Rieke Dyah Pitaloka menampilkan monolog Ema Poeradiredja. (Aga Pratama/National Geographic Indonesia)

Meski berlatar belakang sebelum kemerdekaan, tapi menurut Heni, kisah Wanodja Soenda ini masih sesuai dengan konteks perempuan masa kini. “Kita masih sama-sama berjuang. Di masa sekarang, masih ada juga perempuan yang mengalami diskriminasi,” imbuhnya.

Hal yang sama juga disampaikan oleh Sita Nursanti, pemeran Dewi Sartika. Ia mengatakan, pemikiran-pemikiran Dewi Sartika saat itu, ternyata masih sangat relevan.