Black Panther yang Langka Kembali Ditemukan di Sri Lanka

By Gita Laras Widyaningrum, Rabu, 5 Februari 2020 | 10:33 WIB
Black panther. (Omariam/Shutterstock)

Nationalgeographic.co.id - Beberapa tahun lalu, seekor macan kumbang hitam (black panther) ditemukan di Sri Lanka. Namun, sayangnya ia ditemukan dalam keadaan mati akibat terjebak di dalam perangkap. Kala itu, ia diperkirakan menjadi macan kumbang hitam terakhir yang hidup di Sri Lanka.

Namun, belum lama ini, Department of Wildlife Conservation (DWC) Sri Lanka, mengumumkan bahwa mereka berhasil menemukan black panther di hutan Adam's Peak. Artinya, spesies ini belum punah di Sri Lanka.  

Baca Juga: Puluhan Koala Terluka dan Mati Kelaparan di Perkebunan Australia

Setelah menerima laporan penampakan macan kumbang hitam dari para penduduk lokal, DWC memasang beberapa kamera tersembunyi untuk menangkap pergerakan hewan langka tersebut.

Hasilnya tidak mengecewakan. Pasalnya, kamera tersebut menangkap gambar empat black panther berbeda--satu betina, satu jantan, dan dua anak-anak. Foto tersebut sebenarnya diambil pada Oktober lalu, tapi DWC ingin mengonfirmasi penemuan mereka terlebih dahulu sebelum mengumumkannya kepada publik. 

Penampilannya yang mencolok membuat black panther dikenal sebagai spesies unik. Disebut dengan melanisme, hewan ini memiliki mutasi genetik yang memberi mereka tingkat pigmen melanin yang sangat tinggi. Pigmen ini kemudian membuat bulunya hitam legam. Melanisme pada dasarnya adalah kebalikan dari albinisme (penyebab warna pucat akibat kurangnya pigmen). 

"Macan kumbang hitam mendapatkan karakteristik uniknya akibat mutasi warna. Dari delapan spesies macan kumbang yang ada di dunia, black panther Sri Lanka menjadi luar biasa karena populasinya yang sangat terbatas,” ungkap Hasini Sarachchandra, juru bicara DWC. 

Baca Juga: Siput Merah Jambu Ditemukan Selamat Pascakebakaran Hutan Australia

"Kami meminta pemerintah dan masyarakat untuk turut melindungi hewan-hewan ini karena mereka adalah hadiah penting yang diberikan ibu bumi," imbuh Dr Malaka Abeywardene, pemimpin penelitian tersebut.