Nationalgeographic.co.id - Tubuh besar Tan Pek Hauw tak lagi muda. Namun, ia tetap saja masih lincah bergerak memeragakan beberapa jurus kungfu dengan senjata. Dia begitu kampiun dalam beragam senjata mulai dari tombak, pedang, golok, hingga rantai. Pek Hauw juga penyuka benda antik, terutama keris.
Pek Hauw kelahiran 1946. Dia dikenal juga dengan nama Barong Seto Wijoyo. Lelaki ini memiliki warung makan di Jalan Jenderal Ahmad Yani No.14A, dengan nama Fajar Pagi. Ia dan istrinya menyediakan menu-menu khas tanpa bahan penyedap rasa seperti nasi campur, gudeg, nasi lengko, nasi langgi, aneka gorengan. Jika Anda sedang berada di Slawi, mampirlah sembari mencecapi hidangan sederhana rasa bintang lima ini! Hati-hati, jangan sampai kesiangan!
Slawi sebuah kota kecil yang menjadi ibukota Kabupaten Tegal. Kota di wilayah Pantai Utara Jawa ini memiliki sederet keistimewaan. Kota ini dijuluki sebagai kota industri teh wangi Indonesia, kota tahu aci, sampai kota asal sate kambing balibul (bawah lima bulan) atau batibul (bawah tiga bulan).
Siapa yang tak kenal deretan teh wangi harum bunga melati? Di kota ini terdapat nama beken teh seperti Teh Tongtji, Teh Sosro, Teh Botol, Teh Poci, Teh 2 Tang, dan Teh Gopek.
Pada pertengahan abad ke-20, sederetan nama pabrikan teh wangi muncul di Slawi? tepatnya di Pecinan Slawi. Pengusahanya rata-rata adalah warga Cina Slawi yang memiliki usaha di rumah mereka.
Saking menjamurnya perusahaan teh di Slawi, kawasan Pecinan Slawi tumbuh sebagai kota dagang ramai. Begitu ramainya Slawi, rumah gedong bermunculan. Tak hanya rumah-rumah orang Cina Slawi, tetapi juga rumah-rumah pejabat dan pengusaha gula milik orang Belanda. Bersamaan dengan tumbuh ramainya Slawi muncullah para jago kungfu di kota itu. Lantas apa peran jago-jago kungfu itu?
Baca Juga: Tan Hong Boen dari Tegal, Penulis Pertama Riwayat Hidup Bung Karno
“Ya di sini banyak yang belajar bela diri. Selain melindungi diri, waktu dulu ya rawan ya, jaman susah. Jadi banyak ahli-ahli bela diri jaga wilayah,” ujar Pek Hauw.
Dia mengenang hari-hari ketika mulai mendalami ilmu bela diri asal Cina itu. Dia merupakan generasi ketiga yang tinggal di Slawi. Kakeknya, yang bernama Tan Boen Gwan, tiba di kota ini pada awal abad ke-20. Saat itu sang kakek masih berusia 6 tahun. Ayahnya, bernama Tan Djit Cun, generasi pertama kelahiran Slawi, yang kelak menikah dengan perempuan asal Purwokerto.
“Papaku kelahiran sini, mamahe orang Purwokerto. Tapi aku ndak tau silsilahe. Mamaku namanya Rame, soale lahire pas Jumat Kliwon, pas rame-ramene Cap Gomeh. Nama Cinane Tjoa Ang Kwie,” jelas Pek Hau.
“Yang pasti, bela diri itu buat membela orang lain bukan buat nyakitin,” ujarnya. Dia pernah membela nenek budhenya yang dianiaya seorang preman. Bahkan, ia rela dipukuli dan masuk penjara LP Tegal Margorejo karena melindungi sang nenek. Namun, peristiwa itu tidak menyurutkan niatnya untuk belajar bela diri. Dia malah semakin getol menimba ilmu dari kakek gurunya yang bernama Chie Siauw Fu.
“Kakek gurune aku dari Shaolin di Shandong utara," ujarnya dengan logat khas Tegal sambil mengenang kakek gurunya yang jago memainkan senjata berupa rantai. "Ia ngajar ke sana sini, Semarang, Cirebon, Tegal. Di sini ngajari, gurune aku. Terakhir wafat di Semarang.” Dia lalu menambahkan, “Kakek guru itu sakti. Pakai tenaga dalam. Bisa matiin api korek dari jauh itu, sakti."
Nama guru yang ia sebutkan bukanlah tokoh rekaan. Dalam buku yang berjudul Melacak Jejak Kungfu Tradisional di Indonesia, Chie Siauw Fu dan Oey Pek Siong adalah tokoh kungfu Shaolin yang ternama di tanah Jawa terutama wilayah Pantai Utara. Nama perkumpulan kungfu yang didirikan Chie Siauw Fu di Tegal diberi nama Shandong Wushu Tuan. Perguruan bela diri ini pernah jaya dan terkenal di dunia kungfu di Indonesia.
Chie Siauw Fu dihormati dan disegani oleh para petarung aliran Cina utara dan selatan di Indonesia. Kabarnya, Oey Pek Siong menjadi murid utama Chie Siauw Fu sejak 1926. Dia mendapat kepercayaan untuk meneruskan perguruan kungfu ini setelah Chie Siauw Fu wafat pada 1972.
Pek Hau memiliki lima anak. Salah satu anaknya bernama Naga Gotama Adhiwijaya adalah ahli wushu yang pernah memenangkan kompetisi di tingkat Provinsi Jawa Tengah.
Baca Juga: Lima Jenis Teh yang Dianggap Efektif untuk Menurunkan Berat Badan
Pek Hauw mulai belajar kungfu pada usia 12 tahun. Ia memulai pelajaran dasar seperti jurus-jurus, sampai menjalani latihan-latihan pertarungan dengan menggunakan senjata.
“Alat kungfu itu macem-macem. Ada rantai, tombak, golok biasa, golok Kwan Kong. Pedang Cina itu tajam punya dua mata pedang. Beda sama samurai, kalau buat kami, samurai itu golok, bukan pedang. Kalau tajem punya mata baru itu pedang,” ujar Pek Hauw sambil memperlihatkan koleksi senjata tajam yang ia kumpulkan selama ini.
Pek Hauw mulai mengajar ilmu bela diri pada usia 40 tahun karena dorongan hatinya yang ingin membagi ilmu. Dia lebih sering mengajar dengan sukarela tanpa bayaran. Aktivitas mengajarnya bisa di mana saja.
“Pernah ngajar di halaman rumahe temen, atau ngajar di lapangan, atau ya di halaman rumah-rumah. Ada kumpulane anak-anak yang belajar,” kenangnya. “Masyarakat nganggep saya itu guru, ya saya harus jadi guru yang baik."
Kini, ia tak lagi mengajar, namun masih kerap berlatih bela diri di rumahnya yang sekaligus menjadi warung makan itu.
“Ya untuk jaga kesehatan, biar seger terus,” tuturnya sambil terkekeh.
Baca Juga: Penelitian: Teh Celup Juga Mengandung Banyak Mikroplastik