Susuri Peradaban Purba di Karst Rammang-Rammang dan Leang-Leang

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Kamis, 3 Desember 2020 | 11:00 WIB
Kampung Berua Rammang-rammang (Afkar Aristoteles Mukhaer)

Nationalgeographic.co.id—Jika mengingat Taman Nasional Bantimurung di Sulawesi Selatan yang terpatri pertama kali adalah sebuah kawasan untuk surganya kupu-kupu. Namun, pada sisi lain taman nasional ini, ternyata memiliki bentang alam yang indah dan memiliki peninggalan prasejarah.

Rammang-rammang di Kabupaten Maros, lokasinya tidak begitu jauh dari Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar. Dalam bahasa setempat, Rammang-rammang berarti sekumpulan kabut. Julukan ini bisa terlihat setiap pagi, kawasan karst ini selalu diselimuti kabut.

Baca Juga: Tiga Destinasi Wisata di Sulawesi Selatan yang Wajib Dikunjungi

Destinasi yang dipenuhi karst atau batuan kapur ini juga menjadikannya sebagai karst terbesar ketiga di dunia setelah karst di Tiongkok dan Vietnam.

Saat Anda ingin menyusuri Rammang-rammang, hal pertama yang akan kalian lakukan adalah masuk melalui Dermaga 1 atau 2 di sekitar Sungai Pute, yang menyajikan pemandangan karst dengan menaiki perahu. Untuk wisatawan, setiap orangnya dikenai biaya Rp 50.000 untuk perahu ke Kampung Berua, sebuah kampung wisata untuk akses ke dalam Rammang-rammang.

Karst Rammang-rammang dari atas perahu saat menyisiri Sungai Pute (Afkar Aristoteles Mukhaer)

Kampung Berua mengingatkan saya pada beberapa film lokal karya anak Makassar yang tampil di layar lebar, Silariang. Film ini berkisah tentang cinta beda status antara tokoh bernama Yusuf dan Zulaikha. Pada akhirnya, situasi ini membuat mereka menjadi pasangan yang lari dari orang tua, atau dalam istilah adat Sulawesi Selatan disebut silariang.

Kampung Berua menjadi latar tempat pelarian mereka, yang terdiri dari  rumah-rumah perkampungan khas Sulawesi Selatan dan persawahan yang berlatangan gunung-gunung kapur yang menjulang di segala penjuru yang menurut bagaikan melindungi kisah cinta mereka.

Baca Juga: Bertemu Macaca Maura, Satwa Endemik di Taman Nasional Bantimurung Bulusarauang

Kawasan sekitar Rammang-rammang terdiri atas banyak gua yang terbentuk dari aktivitas geologi pada masa purba. Salah satu yang paling menarik untuk dikunjungi adalah Goa Permata. Stalaktit dan stalagmit di gua ini memiliki beragam bentuk unik. Ada bentuk anjing yang sedang duduk, dinosaurus, pun ada yang menyerupai sesosok ibu sedang menggendong bayinya. 

Akibat efek aktivitas geologi yang terjadi di zaman purba dan proses kimia yang terjadi di sepanjang goa, mengakibatkan banyak perata yang bermunculan di dinding hingga langit-langit goa, yang dilindungi oleh pihak setempat agar tidak disentuh dan dicuri oleh pengunjung. Untung melihat penampakan permata ini, pengujung harus bersama guide dan membayar sebesar Rp 20.000 tiap rombongan.

Baca Juga: Arkeolog: Di Masa Kerajaan Klasik, Pria dan Wanita Berkedudukan Setara

Kumpulan gua juga berada di Taman Prasejarah Leang-Leang. Bahkan, beberapa di antaranya adalah sisa-sisa tempat tinggal bagi peradaban manusia purba. Saat itu, 44 ribu tahun silam, mereka menetap di pinggiran pantai purba yang kini menjelma kawasan pedalaman.

Cetakan tangan dan lukisan hewan buruan di Leang-leang (Afkar Aristoteles Mukhaer)

Bahkan menurut Alistair Pike dari University of Southampton kepada National Geographic, bahwa cetakan tangan di dinding tersebut lebih tua daripada cetakan tangan yang ditemukan di Eropa yang berusia sekitar 20.000 tahun.

Baca Juga: Gambar Figuratif Perburuan Tertua Berusia 44 Ribu Tahun Ditemukan di Sulawesi Selatan

Beberapa dinding yang di Leang-Leang menyisakan banyak cetakan-cetakan tangan manusia purba dan lukisan-lukisan tentang jumlah hewan buruan oleh manusia purba. Sedangkan pada lantai gua di kawasan ini juga ditemukan kjokkenmoddinger atau sampah makanan manusia purba yang berupa sisa-sisa kerang.

Sayangnya peninggalan-peninggalan nenek moyang kita itu lambat laun menghilang. Perilaku manusia yang mengubah ekosistem sekitar dan perubahan iklim diduga menjadi pemicu yang mempercepat pudarnya gambar-gambar cadas prasejarah.