Nationalgeographic.co.id - Di India, perkawinan anak masih terjadi meskipun usia resmi untuk menikah sudah ditetapkan minimal 18 tahun sejak 1978.
India memiliki angka absolut pernikahan anak tertinggi di dunia. Hal ini dikarenakan beberapa faktor termasuk kurangnya akses terhadap pendidikan dan norma gender yang kaku.
Untuk melindungi anak perempuan dari perkawinan anak, berbagai penelitian menyarankan setidaknya tiga tindakan yang diperlukan:
- menyediakan akses pada pendidikan formal
- mengedukasi anak muda tentang kesehatan dan hak-hak reproduksi seksual
- mempromosikan kesetaraan gender di tingkat akar rumput.
Baca Juga: Monolog Wanodja Soenda, Kisah Perjuangan Tiga Perempuan Sunda Era Hindia Belanda
Menyediakan pendidikan formal
Menaikkan batas usia minimum menikah bagi perempuan menjadi 19 tahun memberikan lebih banyak kesempatan bagi anak perempuan untuk menyelesaikan pendidikan SMA sebelum mereka menikah.
Riset menunjukkan pentingnya pendidikan tinggi dalam mencegah perkawinan anak. Seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan maka jumlah perkawinan anak akan berkurang.
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2012 menunjukkan lulusan SMA lebih kecil kemungkinannya untuk langsung menikah dibanding dengan lulusan SMP.
Memastikan anak perempuan tetap di sekolah akan mencegah mereka menjadi pengantin anak. Hal ini juga akan akan membawa manfaat ekonomi, tidak hanya untuk diri mereka sendiri tetapi juga bagi negara.
Sebuah laporan yang belum diterbitkan oleh UNICEF Indonesia menunjukkan bahwa perempuan berpendidikan tinggi akan memiliki kesempatan yang lebih baik untuk mendapatkan pekerjaan yang stabil, yang pada akhirnya akan berkontribusi pada perekonomian negara.
Agar anak perempuan tetap di sekolah dan tidak menikah pada usia anak, pemerintah harus memastikan bahwa perempuan menerima hak mereka untuk ikut serta dalam program wajib belajar 12 tahun .
Pendidikan seks
Penelitian lain dari Institusi Credos pada tahun 2017 di Rembang, Jawa Tengah menunjukkan bahwa kurangnya informasi terkait hak-hak reproduksi seksual adalah salah satu alasan kenapa perkawinan anak tetap terjadi.
Banyak anak di Indonesia tidak tahu bahwa berhubungan seksual dapar menyebabkan mereka hamil dan dipaksa untuk menikahi pasangan mereka.
Sebuah penelitian dari Aliansi Remaja Independen pada tahun 2016 menunjukkan bahwa 7 dari 8 anak perempuan di Jakarta, Yogyakarta dan Jawa Timur mengakui bahwa mereka hamil sebelum pernikahan mereka.
Tingkat kesuburan perempuan Indonesia yang berusia antara 15 dan 19 tahun adalah 47 kelahiran per 1.000 wanita pada 2017. Ini lebih tinggi dari India dengan 23 kelahiran per 1.000 wanita.
Mereka tidak tahu bahwa kehamilan dini akan meningkatkan kemungkinan mereka meninggal dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang memiliki kehamilan di usia 20-an.
Pendidikan seks di Kenya, Peru dan Pakistan telah membantu mengurangi perkawinan anak dan kehamilan yang tidak direncanakan. Kelas-kelas tentang pendidikan seksual di negara-negara tersebut bersifat komprehensif. Anak-anak dapat belajar tentang isu-isu seputar hak asasi manusia, ketidaksetaraan gender dan hubungan kekuasaan dalam hubungan.
Pemerintah Indonesia harus memberikan pendidikan seks yang komprehensif dengan memasukkan hal tersebut ke dalam kurikulum sekolah.
Mendorong kesetaraan gender
Anak perempuan lebih rentan pada pernikahan anak karena adanya persepsi dan ekspektasi masyarakat pada peran domestik anak perempuan.
Menurut penelitian Institut Credos tahun 2017, anak perempuan dianggap siap untuk menikah ketika mereka sudah bisa mengurus keluarga. Sementara untuk anak laki-laki, kapan mereka siap menikah benar-benar terserah mereka. Kebanyakan berpikir mereka siap ketika mereka merasa mandiri secara ekonomi.
Ekspektasi ini mungkin lebih kuat di daerah perdesaan, dan ini mungkin menjadi salah satu alasan mengapa jumlah angka perkawinan anak di sana lebih tinggi daripada di daerah perkotaan. Dari Susenas tahun 2012, tingkat perkawinan anak di perdesaan berada pada angka 29,2%, lebih tinggi dibandingkan di perkotaan yang sebesar 19%.
Pemerintah harus lebih bekerja sama lebih erat dengan organisasi masyarakat sipil untuk mempromosikan kesetaraan gender.
Mengatasi tabu
Alasan lain mengapa perkawinan anak masih tinggi di Indonesia adalah karena ketakutan masyarakat terhadap perzinaan semakin kuat seiring dengan meningkatnya konservatisme.
Kelompok-kelompok konservatif telah menciptakan gerakan mendukung perkawinan anak. Mereka percaya perkawinan anak akan melindungi diri dari dosa perzinaan. Salah satu gerakan tersebut adalah Indonesia Tanpa Pacaran yang menganjurkan kaum muda untuk tidak berkencan dan menikah sesegera mungkin.
Tekanan publik seperti ini tergambar dalam sebuah penelitian di tahun 2019 yang menunjukkan alasan mengapa orang tua di Tuban, Jawa Timur; Mamuju, Sulawesi Barat dan Bogor, Jawa Barat meminta dispensasi untuk anak perempuan mereka menikah meski umur mereka belum cukup.
Studi ini menunjukkan bahwa alasan orang tua meminta izin untuk menikahkan anak perempuan mereka meskipun belum cukup umur adalah karena mereka khawatir anak-anak mereka akan melakukan perzinaan, terutama ketika anak-anak mereka mulai memiliki pacar.
Kita dapat mengatasi masalah perkawinan anak dengan bekerja di tingkat akar rumput dan melibatkan komunitas terkait.
Baca Juga: Cerita Pemimpin Redaksi National Geographic Tentang Jurnalisme dan Karier
Di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, yang tingkat prevalensi pernikahan anak relatif tinggi, 25% kaum muda bekerja bersama dengan lembaga-lembaga di desa. Mereka melakukan advokasi untuk menggalang dana untuk melindungi anak perempuan agar tidak menikah di usia anak dengan memberikan informasi mengenai kesehatan dan hak reproduksi seksual.
Perkawinan anak adalah masalah kompleks yang membutuhkan kerja sama dari berbagai sektor.
Sebuah strategi di tingkat nasional yang mencakup semua masalah yang disebutkan di atas lebih dapat membantu mengurangi jumlah perkawinan anak di Indonesia.
Fahri Nur Muharom menerjemahkan artikel ini dari Bahasa inggris.
Penulis: Nadira Irdiana, Research and Advocacy Associate PUSKAPA (Center on Child Protection and Wellbeing), Universitas Indonesia
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.