Sejarah Cuci Tangan, Praktik Kebersihan yang Sempat Kontroversial

By Gita Laras Widyaningrum, Kamis, 30 April 2020 | 17:47 WIB
Cuci tangan. (freepik)

Nationalgeographic.co.id – Untuk menghindari penyebaran penyakit seperti influenza atau COVID-19, mungkin cara yang paling efektif adalah dengan mencuci tangan. Center for Disease Control, menyarankan kita untuk mencuci tangan selama 20 detik dengan sabun dan air mengalir. Namun, tahukah Anda? Pada abad ke-19, cara ini justru dianggap skandal.

Di Eropa pada tahun 1840-an, banyak ibu yang baru melahirkan sekarat akibat penyakit yang dikenal sebagai demam nifas. Bahkan, dengan perawatan medis yang ada, para perempuan akan jatuh sakit dan meninggal setelahnya pascamelahirkan. Dokter Hongaria, Ignaz Semmelweis, tertarik dengan masalah tersebut dan mencoba mencari asal usulnya.

Ignaz Semmelweis. (GL Archive/Alamy)

Baca Juga: Lima Kisah Penyelamatan Paling Dramatis dalam Sejarah Dunia

Bidan dan dokter

Semmelweis bekerja di Vienna General Hospital di Austria yang memiliki dua ruang bersalin berbeda: satu untuk dokter pria, sementara yang lainnya diperuntukkan bagi bidan wanita. Semmelweis memperhatikan bahwa angka kematian ibu baru akibat demam, jauh lebih rendah ketika mereka dibantu oleh bidan. Para perempuan di bawah perawatan dokter, sekarat dengan jumlah dua kali lipat dibanding pasien bidan.

Semmelweis menguji sejumlah hipotesis untuk fenomena tersebut. Ia menyelidiki apakah posisi tubuh wanita selama kelahiran memiliki dampak. Semmelweis juga mempelajari apakah rasa malu diperiksa oleh dokter pria menyebabkan mereka demam. Mungkin, pikirnya, para pastor yang melayani pasien yang sekarat karena demamlah yang membuat para ibu baru itu ketakutan. Semmelweis menilai setiap faktor dan kemudian mengesampingkan yang tidak sesuai.

Partikel dan patogen

Setelah menghapus berbagai variabel, Semmelweis menemukan penyebabnya: yaitu mayat. Pagi hari di rumah sakit, dokter mengamati dan membantu murid mereka melakukan autopsi sebagai bagian dari pelatihan medis mahasiswa kedoteran. Kemudian, sore harinya, dokter dan mahasiswa tersebut bekerja di bangsal bersalin--memeriksa pasien hamil dan membantu melahirkan bayi. Di sisi lain, bidan tidak memiliki kontak seperti itu karena hanya bekerja di bangsal persalinan.

Semmelweis menduga, “partikel mayat” terbawa dari ruang jenazah ke ibu baru oleh dokter dan murid mereka. Pada masa itu, dokter tidak harus membersihkan tangan mereka seperti saat ini. Patogen apa pun yang mereka dapat selama autopsi akan dibawa ke bangsal bersalin.

Teori mengenai kuman masih dalam perkembangan saat itu (ditemukan oleh Louis Pasteur dan Joseph Lister beberapa dekade kemudian). Jadi, alih-alih kuman, Semmelweis menyebutnya sebagai “pengurai bahan organik hewani”. Para perempuan terinfeksi dengan partikel tersebut dan meninggal akibat demam setelah melakukan kontak dengan dokter.

Pelukis Robert Thom menggambarkan Semmelweis (tengah) di Vienna General Hospital, Austria, saat mengawasi dokter mencuci tangan sebelum memeriksa pasien hamil. (Look and Learn, Bridgeman Images)