COVID-19 Menyerang Suku Asli Amazon, Bagaimana Nasib Mereka?

By Gita Laras Widyaningrum, Selasa, 14 April 2020 | 18:02 WIB
Suku asli Amazon. (Guilherme Gnipper Trevisan/Hutukara )
 
Nationalgeographic.co.id - Pihak berwenang dan aktivis hak asasi manusia di Brasil memperingatkan tentang bencana kesehatan masyarakat yang akan terjadi setelah kasus kematian akibat virus corona dilaporkan pada populasi suku asli yang sangat rentan di Amazon
 
Petugas kesehatan di negara bagian Brasil wilayah utara, Roraima, melaporkan bahwa pada 9 April, seorang remaja anggota suku Yanomami meninggal dunia akibat COVID-19. Ini meningkatkan kekhawatiran bahwa ia mungkin telah menyebarkan virus pada teman-teman dan tetangganya yang juga mengalami gejala COVID-19 sejak tiga minggu lalu.
 
Pemuda Yanomami tersebut diketahui beraktivitas melewati area yang dipenuhi oleh para penambang emas di sekitar Amazon. Belum diketahui dengan pasti dari mana dan dari siapa ia tertular COVID-19.
 
Baca Juga: Seniman Terkena Dampak COVID-19, Ditjen Kebudayaan Lakukan Pendataan
 
Kasus ini menandai kematian kedua yang terjadi pada orang-orang asli Brasil. Jumlah infeksi kasus pada suku asli di negara tersebut mencapai tujuh orang, tersebar pada tiga negara bagian Amazon--termasuk empat kerabat Kokama yang terinfeksi di negara bagian Amazonas bagian barat. Mereka tertular COVID-19 dari seorang dokter lokal yang baru kembali setelah menghadiri konferensi di Brasil Selatan dan gagal mematuhi protokol isolasi diri. 
 
Di negara bagian Pará, hasil tes post-mortem mengonfirmasi bahwa wanita Borari berusia 87 tahun meninggal akibat COVID-19. Para peziarah yang ikut mengantar jenazah wanita tersebut pada akhir Maret lalu, tidak tahu bahwa ia membawa virus mematikan dan dapat menularkan penyakit. 
 
Kehadiran ratusan pelayat pada upacara pemakaman itu memicu kekhawatiran akan banyak kasus serupa muncul di kemudian hari. Berpotensi membanjiri fasilitas kesehatan yang sudah rapuh di wilayah tersebut. 
 
"Tingginya pergerakan orang dari satu negara bagian ke yang lainnya di Amazon, dan dengan kurang tegasnya kebijakan publik, membuat COVID-19 memiliki medan subur untuk menyebar dengan cepat di antara populasi mereka--menyebabkan bencana dalam jangka pendek dan menengah," papar Roque Paloschi, uskup agung Porto Velho, Rondônia, sekaligus presiden grup pembela hak asasi Katolik, Indigenist Missionary Council. 
 
Kementerian Publik Federal Brasil, memperingatkan tentang "risiko genosida" di tengah tuduhan bahwa FUNAI, agensi urusan masyarakat asli di Brasil, tidak maksimal dalam melindungi komunitas adat dari penularan virus corona. 
 
Wilayah Amazon. ( Nicolas Reynard/Nat Geo Image Collection)
 
Melalui kerja keras selama beberapa dekade, agen lapangan FUNAI, mengonfirmasi bahwa ada 28 komunitas yang hidup di pedalaman Amazon Brasil. Mungkin masih ada 80 kelompok terisolasi lainnya yang belum berhasil diidentifikasi. 
 
Sejak 1987, kebijakan federal telah melarang orang luar untuk memasuki wilayah-wilayah di mana suku terisolasi berada. Ini dilakukan untuk melindungi mereka dari penyakit menular karena anggota kelompok tidak memiliki kekebalan tubuh yang sama dengan orang-orang yang terbiasa melakukan kontak dengan dunia luar. 
 
Kasus COVID-19 yang menyerang remaja Yanomami telah memicu kemarahan di antara para pemimpin suku dan aktivis. Diketahui ada sekitar 22 ribu anggota Yanomami yang hidup di hutan dataran tinggi yang membentang hingga perbatasan Venezuela. 
 
Kebanyakan dari mereka tidak memiliki kontak dengan dunia luar. Namun, wilayah mereka telah disusupi secara ilegal oleh ribuan penambang emas yang akhirnya menjadi ancaman besar bagi anggota suku. 
 
Pemimpin Yanomami sendiri selama ini telah meminta pemerintah untuk mengusir para penambang, mengingat area tepi sungai mereka dipenuhi dengan tenda perkemahan.
 
"Anda seharusnya melakukan pekerjaan dengan baik untuk mencegah masuknya epidemi ke rumah kami di sepanjang jalur yang dibuka oleh para penyusup," kecam Hutukara Yanomami Association dalam surat terbuka yang ditujukan pada badan kesehatan negara dan pejabat urusan adat. 
 
Para penambang menemukan emas beberapa tahun lalu di wilayah yang berjarak hanya 18 mil dari desa. Bahkan, sebelum COVID-19 semakin parah, para pemimpin Yanomami sudah khawatir komunitasnya dapat hancur akibat penularan yang disebarkan para penambang. 
 
Gambar satelit mengungkapkan bahwa virus corona nampaknya tidak membantu meredam operasi penambangan emas di teritorial Yanomami. Aktivitasnya masih seperti biasa. 
 
Rencana darurat
 
Para ahli mengatakan, memisahkan masyarakat asli dari dunia luar adalah cara terbaik melindungi mereka. Dan ini harus dilakukan lebih ketat sekarang.
 
"Menurut pendapat saya, satu-satunya rencana darurat yang bisa menjamin keselamatan kelompok ini adalah mengusir para 'penjajah' dari wilayah mereka. Juga melindungi tanah-tanah suku asli dan mengisolasinya dari kontak dunia luar. Ini merupakan tugas pemerintah Brasil," papar Douglas Rodrigues, spesialis kesehatan masyarakat adat dari Universidade Federal de São Paulo yang telah bekerja dalan komunitas suku asli Amazon selama 40 tahun. 
 
Ia menambahkan, menahan penyebaran setelah virus memasuki desa adat merupakan hal yang sangat sulit mengingat mereka hidup secara komunal. 
 
"Keluarga besar hidup bersama dalam satu rumah dengan banyak orang. Mereka juga kerap berbagi objek dan makanan," imbuh Rodrigues. 
 
Dengan tidak adanya ketegasan pemerintah, beberapa suku asli telah berusaha sendiri untuk mengentikan penyebaran pandemi. Di sepanjang sungai Xingu di Amazon Tengah, suku Kayapó telah mencapai kesepakatan dengan para penambang agar mereka mereka menghentikan operasi dan menarik diri dari wilayah tersebut. 
 
Suku Kayapo. ( Felipe Fittipaldi)
 
Sementara itu, di sepanjang sungai Tapajós, negara bagian Pará, orang-orang Muduruku telah memasang plakat yang melarang 'pengunjung tidak diundang' untuk masuk ke wilayah mereka. Patroli juga ditingkatkan untuk melindungi wilayah adat Raposa do Sol di Roraima. 
 
Meski begitu, di beberapa tempat lain, laporan menyatakan bahwa penambang dan penebang ilegal, serta perampas tanah, justru memanfaatkan krisis kesehatan ini untuk menutupi aksi serangan mereka ke wilayah adat. Dalam beberapa hari terakhir, auman gergaji mesin bergema di hutan di negara bagian Rondonia. The Indigenous Association of the Karipuna People mengatakan, anggota suku tak berdaya menyaksikan orang-orang asing tersebut membuka lahan di batas wilayah mereka. 
 
Pada 31 Maret, Zezico Rodrigues, pemimpin suku Guajajara ditemukan tewas ditembak di luar desanya di Arariboia Indigenous Territory di Maranhão. Para penyidik belum menetapkan tersangka, tapi orang-orang Guajajara telah berperang dengan penebang liar yang sudah menewaskan lima orang anggota suku sejak akhir November lalu. 
 
Baca Juga: Pegunungan Himalaya Terlihat Dari India, Pertama Kalinya dalam Beberapa Dekade
 
Pemerintah Brasil di bawah kepemimpinan Presiden Jair Bolsonaro dikenal kerap mendorong untuk melegalkan penambangan di wilayah adat di seluruh Amazon. Mungkinkah para pendukung Bolsonaro melihat krisis kesehatan ini sebagai peluang tak terduga untuk menyingkirkan suku-suku terisolasi dan mengambil sumber daya mereka?
 
"Saya rasa itu mungkin terjadi, mengingat kegagalan pemerintah dalam menerapkan langkah-langkah perlindungan bagi penduduk asli secara tepat waktu," ungkap Sydney Possuelo, veteran FUNAI sekaligus perancang utama kebijakan lama Brasil yang menjauhkan orang-orang luar dari suku pedalaman
 
Kebijakan ini masih berlaku hingga sekarang, meskipun Bolsonaro menyatakan niat untuk mengintegrasikan suku-suku asli ke masyarakat nasional dan mengeksploitasi kekayaan di tanah mereka.