Berkelana dari Kursi, Jadi Pejalan Bijak yang Memiliki Kebermanfaatan

By Fikri Muhammad, Minggu, 19 April 2020 | 15:54 WIB
Di provinsi Neuquén, Argentina, dua gaucho ikut menggembalakan sapi. ()

Nationalgeographic.co.id - Manusia tidak bisa sendiri untuk menjelajahi Bumi. Butuh banyak peran dari berbagai pihak agar bisa sama-sama bekerja demi kebaikan dunia. 

National Geographic Indonesia percaya bahwa dengan kekuatan ilmu pengetahuan, penjelajahan, dan bercerita maka kita bisa mengubah dunia. Untuk itu, kami mencoba menghubungkan para pejalan di seluruh negeri lintas geografi melalui kampanye Saya Pejalan Bijak

Secara harfiah, umat manusia sudah melakukan perjalanan sejak jutaan tahun yang lalu. Bahkan, para manusia purba telah membangun komunitasnya dengan membentuk api unggun bersama. 

Namun adanya pagebluk COVID-19 membuat para pejalan menunda aktivitas perjalananya. Sektor pariwisata pun kena imbasnya. 

Baca Juga: 15 Kiat Menjadi Pejalan Bijak, Memaknai Hasrat Penjelajahan

Pada Minggu 12 April 2020 lalu, National Geographic Indonesia mengadakan diskusi daring berjudul Bincang Pejalan: Berkelana Dari Kursi Menjadi Pejalan Bijak. Forum ini membahas apa yang bisa dilakukan dan dimaknai oleh pejalan ditengah kondisi pagebluk ini.

Adapula pembicara yang hadir yakni Didi Kaspi Kasim selaku Editor in Chief National Geographic Indonesia, Mahandis Yoanata selaku Managing Editor National Geographic Indonesia, dan Ricky Martin, Photographer NatGeo Indonesia.

Seorang anak menggunakan pakaian adat dayak berpose sebelum membawakan tarian Temenggang di Desa Setulang, Kalimantan Utara. (Rahmad Azhar/National Geographic)

Berbicara kelana, maka umumnya kita berpikir untuk datang ke suatu lokasi. Berkontemplasi dan menemukan ide dan celah perbaikan dalam perjalanan itu. Namun, apakah kelana harus datang ke lokasi tertentu saja? Apakah ada hal lain yang bisa kita lakukan?

"Definisi kelana tidak harus mendaki gunung tertinggi atau menyelami laut terdalam, atau gua terpanjang di dunia. Dengan adanya wabah ini kita bisa berjalan di halaman sekitar. Kita pernah nggak memperhatikan serangga atau satwa di pekarangan kita?" kata Didi Kasim saat membuka pemaparan di Bincang Pejalan via Zoom (12/04/2020).

Menurut Didi, kita bisa melakukan perubahan walaupun sedang berada di rumah. Perjalanan-perjalanan yang lampau bisa kita unggah ke berbagai platform dengan format foto dan cerita yang baik. Hal itu akan meningkatkan daya khayal akan sebuah perjalanan bagi orang-orang yang melihatnya. Apalagi pada situasi seperti ini, di mana tenaga kesehatan memerlukan informasi yang menyenangkan. Selain itu, informasi tentang pelestarian alam juga penting untuk keselamatan Bumi.

"Ada persoalan Bumi tentang plastik. Kita harus melakukan perubahan, misalnya ada pariwisata, sebuah ceruk yang sangat masif. Kalau kita bisa mengubah sekelompok orang ini maka bisa menyelamatkan Bumi," ucap Didi. 

Pejalan bijak, menurut Didi Kasim, ialah saat seseorang telah meninggalkan tempat perjalanannya, maka tempat itu akan lebih baik setelah kita tinggalkan.

Berwisata juga harus memiliki etika. Bagaimana kita bertata krama dan bertutur. Itulah pentingnya riset sebelum plesiran. 

Apalagi di tempat-tempat bermakna religius, kita perlu perhatikan tingkah laku dan berbusana. Juga menghormati sosial dan ritual agama yang sedang dilakoni.

Citizen journalism tidak masalah untuk dilakukan, tapi harus tetap memperhatikan etika. Kita harus tau kapan bisa memotret dan kapan waktunya bertepuk tangan saat menonton orkestra misalnya.

Begitu juga saat menyelam bersama ikan raksasa seperti paus di lautan. Kita harus menyesuaikan diri dengan rumahnya.

Sama ketika kita masuk ke rumah agama, menyelam di laut juga perlu beretika dengan sang pemilik tuan rumah. 

Selain itu, sebagai pejalan bijak perlu memerhatikan kelestarian alam dan budayanya. 

"Jangan tinggalkan apapun selain jejak kaki, kita pernah ke sana. Jangan ambil apa pun selain foto, tidak mengambil edelweiss di gunung misalnya. Jangan ambil atau asal pegang situs arkeologi, nggak bermanfaat buat kita," tutur Didi. 

Di sudut ruangan Gereja Katedral terdapat Patung Pieta, yang menggambarkan Bunda Maria memangku jenazah Yesus usai diturunkan dari salib. (Rahmad Azhar/National Geographic)

Memaknai pejalan bijak memiliki definisi yang berbeda pada tiap orangnya. Adapun Mahandis Yoanata, Managing Editor National Geographic Indonesia, menyukai cerita dari sejarah sebuah kota yang dibangun sejak dulu dan masih bertahan sampai sekarang.

Dari sana, ia mendapatkan ingatan warga tentang kebiasaan-kebiasaan orang terdahulu di kota yang ia jajaki. 

Beberapa waktu lalu, Yoan melancong ke Malang, menyusuri kota yang dibangun sebagai sebuah percepatan kota karena pandemi pes di Hindia Belanda. Ia mendapatkan impresi dari warga kota dari seniman topeng, pegiat budaya, dan pegiat keris.  

Menikmati kota menurutnya tak lengkap jika tak menikmati kuliner khasnya. Misalnya seperti pecel yang menjadikan daun semanggi sebagai olahan utamanya di Surabaya.

Tak berfokus pada cita rasa kulinernya, justru Yoan menikmati pecel semanggi sebagai catatan budaya yang hilang. Karena keberadaanya sekarang tergerus oleh zaman.

Uniknya, destinasi perjalanan Yoan terinspirasi dari catatan buku orang lama. Ia berusaha meresap dengan bingkai kota pada mulanya dan bagaimana orang-orang itu berkembang dari waktu ke waktu.

Dari sanalah kita bisa melihat perjalanan sebuah kota dari masa ke masa.

Penulusuranya sampai pada sebuah buku biografi Jurnalis Indonesia bernama Kwee Thiam Tjing asal Malang yang berjudul Cambuk Berduri.

Buku itu menggambarkan kota Malang sejak masa Hindia Belanda, Jepang, dan agresi militer Belanda pertama. 

Diceritakan bahwa ia seorang wartawan yang faseh berbahasa Belanda, Jawa, Madura, dan Hokkian pandai menggunakan bahasa populer dalam penulisanya. Mencerminkan Bahasa Melayu Pasar sangat deskriptif. 

Saat di Malang, Yoan juga menyempatkan ke lokasi pembantaian Tiong Hoa di Mergosono pada tahun 1947. Ia berhasil menghimpun cerita sejarah itu setelah mewawancarai Oma yang ia temui di kawasan pecinaan.

Alhasil pun mereka berteman, Yoan juga diizinkan untuk beristirahat di kedainya.

Menurut Yoan dalam pemaparanya, sebuah kota selalu memiliki jiwa yang bersemayam dari zaman dahulu kala. Itulah mengapa ia mencintai sejarah kota supaya menjadi inspirasi perjalanannya.

"Sebuah kota itu berdiri selalu punya jiwa, bersemayam di bangunan lama kotanya. Entah itu di Jakarta, Semarang, Jogja, Surabaya, dan Malangitu. Para perancang kota sudah menanamkanya. dari situ kita bisa melihat kembali bagaiamana kondisinya, apakah masih seperti dulu apa sudah berubah," ucap Yoan (12/04/2020).

Pada pandemi ini, Yoan mengatakan bahwa para pejalan tertekan dalam keadaan yang tak bebas ke sana kemari. Namun, menurutnya justru inilah kesempatan bagi para pejalan untuk mendalami riset perjalanan mereka.

"Pejalan dari kursi, tentu kita sangat tertekan sebagi pejalan biasanya kita bisa kemana kemari dengan bebas, untuk beberapa waktu ini kita berada di rumah. Para pejalan bisa melakukan riset yang lebih dalam untuk perjalanan. Siapkan referensi buku biografi mungkin ada perjalanan napak tilas atau cerita sebuah desa yang bisa menginspirasi kita. Kita punya rencana perjalanan yang bisa lebih baik lagi," tutup Yoan.

Keturunan wangsa Bonokeling turun dari perahu sampan setelah menziarahi makam leluhur di Adiraja, Jawa Tengah dalam acara adat Mauludan. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Traveler.)

Baca Juga: Tengkorak 'Broken Hill' Mengevaluasi Proses Evolusi Manusia Modern

Ricky Martin, Photographer National Geographic Indonesia mengatakan bahwa seluruh tempat di Indonesia menarik dan berkesan. Tiap kali selesai menjelajah karena tugas ia merasa harus kembali lagi ke tempat penjelajahanya karena menjalin suatu komunikasi yang erat dengan orang setempat. 

Misalnya saat penugasan ke Asmat, Papua. Ricky menuturkan bahwa warga di sana sangatlah ramah, justru lebih ramah dari orang kota. Namun, perjalanan itu tentu perlu etika.

Ricky mengatakan bahwa seorang pejalan harus mengetahui kapan ia masuk untuk membaur dengan budaya setempat, bahkan membantu mereka memecahkan masalah. 

"Entitas sebuah destinasi ialah kita berada di luar bingkai. Tentunya kita harus masuk dulu ke bingkai, ternyata masalahnya A ,B, C, D. Kalau sudah tahu baru coba kita bantu misalnya seperti masalah sanitasi atau pendidikan. Kita tidak bisa menjawab masalah di suatu destinasi saat itu juga," ucap Ricky pada pemaparanya. 

Seorang ibu menggendong buah hatinya di Setulang, Kalimantan Utara. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Traveler.)