Studi: Musim Panas Belum Tentu Menghambat Penyebaran COVID-19

By Gita Laras Widyaningrum, Rabu, 29 April 2020 | 12:34 WIB
Ilustrasi wabah COVID-19. (_freakwave_/pixabay)

Nationalgeographic.co.id – Dengan cepat dan masifnya penyebaran virus corona, banyak orang berharap musim panas akan segera membantu menyelesaikannya. Pasalnya, suhu tinggi disebut-sebut dapat menurunkan daya tahan virus tersebut.

Namun, laporan dari US National Academics of Sciences, Engineering dan Medicine (Nasem), menyatakan bahwa: “Setelah mereview beberapa penelitian, panel menyimpulkan bahwa studi-studi tersebut tidak menawarkan bukti bahwa musim panas akan benar-benar menghentikan penyebaran virus.”

“Pandemi ini akan melambat karena pembatasan sosial dan faktor lainnya, tapi tidak ada bukti yang menunjukkan manfaat dari matahari dan kelembapan,” tambah mereka.

Baca Juga: Melepaskan Hewan ke Arktika Bisa Bantu Melawan Perubahan Iklim?

Kristian Andersen, ahli imun di Scripps Research Translational Institute di California dan anggota Standing Committee on Emerging Infectious Diseases mengatakan, karena pandemi belum tentu selesai akibat musim panas, maka pemerintah sebaiknya berhati-hati dalam membuat kebijakan terkait hal ini.

“Kita mungkin akan melihat pengurangan penyebaran di awal musim panas. Meski begitu, jangan menggantungkan hasilnya pada iklim karena pengurangan tersebut bisa saja terjadi akibat cara lainnya,” paparnya.

Perilaku manusia adalah yang paling penting, ungkap Dr. David Relman yang mempelajari interaksi antara inang-mikrob dari Stanford University. Ia mengatakan, jika batuk atau bersin seseorang cukup untuk menyebarkan virus ke sekitarnya, maka “temperatur dan kelembapan tidak akan berarti banyak untuk menahan penyebaran virus”.

Ilustrasi cuaca panas. (batuhan toker/Getty Images/iStockphoto)

Laporan dari Nasem juga menyertakan beberapa studi laboratorium yang menunjukkan bahwa suhu tinggi dan kelembapan dapat mengurangi kemampuan virus corona untuk berkembang. Namun, menurut mereka, penelitian-penelitian tersebut masih memiliki keterbatasan yang membuatnya tidak konklusif.

Nasem juga mencatat bahwa meskipun beberapa laporan menunjukkan tingkat pertumbuhan pandemi memuncak dalam kondisi suhu yang lebih dingin, tapi studi tersebut sangat pendek dan terbatas. Salah satu penelitian dari para ilmuwan di Massachusetts Institute of Technology (MIT), menemukan kasus yang lebih rendah pada suhu yang lebih hangat. Namun, lagi-lagi, tidak memberikan kesimpulan yang pasti.

Bahkan, Qasim Bukhari, ilmuwan komputasi dari MIT yang terlibat dalam studi tersebut mengatakan: “Khususnya di AS, efeknya tidak terlalu terlihat di musim panas. Oleh sebab itu, peluang nyata kita untuk menghentikan virus ini memang melaui tindakan karantina.”

Baca Juga: Peneliti Berlomba-lomba Membuat Vaksin Corona, Sudah Sejauh Apa Perkembangannya?

Pandemi tidak berlaku sama seperti wabah musiman. Untuk laporan Nasem, para peneliti melihat sejarah pandemi flu sebagai contoh. “Ada 10 pandemi influenza dalam 250 tahun terakhir—dua dimulai di musim dingin, tiga di musim semi, dua di musim panas dan tiga di musim gugur,” papar laporan tersebut.

“Semuanya sama-sama memiliki puncak gelombang kedua sekitar enam bulan setelah kemunculan virus—terlepas di musim apa itu terjadi,” pungkasnya.