‘Zoom Fatigue’, Fenomena Kelelahan Setelah Melakukan Konferensi Video

By Gita Laras Widyaningrum, Senin, 11 Mei 2020 | 19:46 WIB
Ilustrasi Zoom. (blog.zoom.us)

Nationalgeographic.co.id – Jodi Eichler-Levine baru saja selesai mengajar kelas daring via Zoom dan ia langsung terlelap di ruang kerjanya. Profesor studi agama di Lehigh University ini mengatakan, meskipun kegiatan mengajar selalu melelahkan, ia tidak pernah sampai hampir pingsan seperti itu.

Eichler-Levine biasanya memimpin kelas secara langsung di mana ia dengan mudah mengukur emosi murid-muridnya, bahkan ketika sedang membahas topik berat.

Kini, seperti banyak orang di seluruh dunia, pandemi COVID-19 telah mendorong hidup Eichler-Levine ke ruang virtual. Dan selain mengajar jarak jauh, ia juga harus menghadiri rapat departemen, juga berkomunikasi dengan teman-temannya melalui aplikasi video conference, Zoom.

“Ini rasanya seperti berakting karena kita hanya terlihat dalam kotak kecil di layar. Saya benar-benar lelah,” kata Eichler-Levine.

Baca Juga: Sering Merasa Cemas Memikirkan Keuangan? Ini yang Harus Dilakukan

Banyak orang mengatakan bahwa mereka memiliki pengalaman yang sama sehingga fenomena ini pun kerap disebut sebagai “Zoom Fatigue”. Namun, tidak hanya dengan Zoom, kondisi tersebut juga kerap dirasakan mereka yang menggunakan Google Hagouts, Skype, FaceTime, atau jenis video call lainnya.

Ledakan penggunaan video call ini pun mengarahkan pada eksperimen sosial yang tidak pernah terjadi sebelum pandemi COVID-19. Hasilnya menunjukkan  bahwa interaksi virtual bisa sangat memengaruhi otak.

“Ada banyak penelitian yang menunjukkan bahwa manusia benar-benar kesulitan karena hal ini,” kata Andrew Franklin, asisten profesor ilmu psikologi siber di Norfolk State University.

Menurutnya, orang-orang terkejut dengan betapa sulitnya melakukan panggilan video yang terbatas pada layar kecil dan banyaknya gangguan.

Ilustrasi video call (pressfoto/freepik)

Manusia berkomunikasi, bahkan ketika mereka diam. Selama percakapan, otak berfokus pada kata-kata yang diungkapkan. Namun, selain itu, ada juga makna tambahan yang berasal dari lusinan isyarat nonverbal, seperti apakah lawan bicara menghadap Anda atau buang muka, gelisah, atau menghela napas dan siap untuk menyela.

Isyarat nonverbal tersebut membantu melukiskan gambaran holistik tentang apa yang disampaikan dan diharapkan sebagai respons dari pendengar. Karena manusia merupakan makhluk sosial, memahami isyarat ini menjadi hal alami bagi sebagian besar orang. Tidak perlu banyak usaha untuk menguraikannya sehingga menjadi dasar bagi keintiman emosional dengan orang lain.