Nationalgeographic.co.id—"Tujuh puluh tahun sebelum James Cook, pelaut Sulawesi sudah lebih dulu ke Australia,” ujar Horst Hubertus Liebner, antropolog maritim asal Jerman.
Pada akhir Desember silam, Tim National Geographic Indonesia menjumpainya ketika dia dan awak padewakang Nur Al Marege singgah di pesisir Larantuka, Flores.
Horst merupakan koordinator pelayaran Nur Al Marege untuk meniti jejak rute pelaut Sulawesi ke Marege—sebutan pelaut Makassar untuk pesisir utara Australia. Dia dan awaknya terpaksa menghabiskan beberapa hari untuk membuat kemudi kapal yang baru karena badai telah mematahkan kemudi lamanya.Nama Nur Al Marege merujuk pada makna “Cahaya Marege”. Ekspedisi ini bertujuan sebagai penerang sejarah dan hubungan budaya yang hilang antara pelaut Makassar dengan warga asli Australia. Jauh sebelum kedatangan penjelajah samudra asal Eropa, para pelaut Nusantara telah membangun permukiman dan budaya baru di pesisirnya.
Horst berguru tradisi maritim hingga ke Sulawesi. Dia telah bermukim di Sulawesi Selatan selama tiga dekade belakangan ini. Orang-orang Makassar memberinya gelar Daeng Kulle, sementara orang-orang Mandar memberinya nama Aco Lenggo.
Baca Juga: James Cook Pernah Keluyuran di Batavia
Professor Charles Campbell Macknight, ahli antropologi dan sejarah Asia di Australian National University, mengungkapkan interaksi itu dalam bukunya yang bertajuk The Voyage to Marege', Macassan trepangers in northern Australia.
Buku itu terbit perdana pada Januari 1976, dan menjadi buku yang membuka jendela baru tentang sejarah Australia. Macknight menggunakan dokumen, bukti arkeologis, bukti etnografi, dan wawancara dengan para lelaki tua Makassar yang pernah melakukan pelayaran demi mencari teripang di Marege.
Macknight berpendapat, setidaknya pada periode 1750–80, para pelaut asal Makassar berlayar dalam rute panjang dan berbahaya menuju Marege. Setiap tahun tak kurang dari seribu pelaut Bugis singgah di peisir itu sekitar Desember sampai Maret selama musim angin barat.
Baca Juga: Louis Pierre dan Louis Dauphin, Priyayi Makassar dalam Legiun Prancis
Para nelayan itu mencari teripang di laut dangkal sekitar Arnhem Land. Kini, kawasan itu berada dalam Northern Territory di Australia. Jaraknya sekitar 500 kilometer dari Ibu Kota Darwin. Perairan itu memang memiliki teripang yang cukup melimpah, sehingga menjadi magnet pelaut Nusantara. Teripang dihargai sebagai makanan lezat oleh orang Cina. Perdagangan antara Australia dan Cina sudah lama, jauh sebelum kargo ekspor pertama berlayar dari Kota Sydney.Sembari menunggu angin untuk pulang, mereka membangun permukiman. Mereka mengawetkan teripang-teripang di pesisir itu sebelum dibawa kembali ke Makassar untuk diperdagangkan.
Mereka berangkat dari Pelabuhan Makassar ke Galesong pada awal minggu kedua Desember 2019. Lalu, melanjutkan pelayaran ke Bulukumba, Pulau Selayar, Pulau Bonerate, Pulau Madu, Pulau Adonara, Pulau Lembata, Pulau Pentar, Pulau Alor, Pulau Wetar, Pulau Masela, Pulau Yamdena. Jelang akhir minggu keempat Januari 2020, mereka tiba di perairan Darwin.
Misi padewakang Nur Al Marege meniti jejak pelaut Makassar ini merupakan pelayaran bersejarah—dan romantis. Rancang bangun padewakang ini berdasar konstruksi yang digunakan pelaut-pelaut pada 250 tahun silam. Padewakang sejati telah punah seratus tahun silam. Peralatan memasak dan bersantap menggunakan kayu dan tembikar seperti pelaut klasik.
Baca Juga: Kisah Paket yang Tak Sampai: Tenggelamnya Gerbang Kota Batavia
“Sekarang itu banyak orang tidak tahu pinisi itu adalah hasil evolusi dari perahu padewakang dan layar padewakang sejenis dengan apa yang ada di gambar perahu Candi Borobudur," ujarnya.