Sayap Burung Kolibri Menginspirasi Pembuatan Drone dan Teknologi Lainnya

By National Geographic Indonesia, Kamis, 21 Mei 2020 | 12:25 WIB
Seekor kolibri anna minum sambil terbang di depan ilusi optik. (Anand Varma/National Geographic)

Burung kolibri menggunakan otot sayap nya besar agar dapat tetap mengepakkan sayap secara cepat ketika terbang. Hal ini dikenal sebagai high wing beat frequency, atau frekuensi ketukan sayap yang tinggi. Hal ini yang menyebabkan burung kolibri mampu terbang secara melayang, biasanya mereka lakukan pada saat musim panas, ketika mereka datang menghampiri bunga-bunga dan tempat makan burung atau bird-feeders di halaman belakang rumah.

Burung kolibri membutuhkan banyak energi untuk dapat tetap terbang dalam kurun waktu yang cukup panjang dan juga untuk mengumpulkan makanan.

Selain itu, kerangka tulang dada yang panjang yang dimiliki oleh burung kolibri menjadi permukaan yang tepat sebagai tempat otot sayap mereka merekat. Semakin besar permukaan dari kerangka tulang dada suatu burung, semakin banyak otot yang dapat terhubung satu dengan yang lainnya.

Agar dapat melayang, burung kolibri mengepakkan sayapnya dalam pola angka delapan. Kepakan sayap ini dapat mereka lakukan berkat kibasan sayapnya secara terus menerus yang dapat dilakukan karena bentuk tulang sayapnya yang pendek. Tulang sayap yang pendek ini menjadi keunikan lain bagi burung kolibri, yang tidak ditemukan di spesies burung lainnya.

Selain itu, otot dan tulang burung kolibri bekerja sama agar mampu melayang dan juga mampu terbang menyamping dan ke belakang dengan kecepatan hingga 50 kilometer per jam.

Ketika para peneliti melihat bagaimana cara otot dan tulang burung kolibri bekerja agar dapat menghasilkan teknik terbang yang cepat dan tepat walaupun dengan tubuhnya berukuran kecil, mereka menjadi tertarik untuk mencari tahu apakah mekanisme serupa dapat digunakan dalam untuk teknologi masa kini.

Sebagai contoh, AeroVironment Nano Hummingbird, sebuah prototipe yang dikembangkan oleh Defense Advanced Research Projects Agency di Amerika Serikat, terinspirasi dari burung kolibri. Nano Hummingbird sendiri adalah sebuah perangkat drone yang meniru cara terbang burung kolibri yang tangkas dan lincah.

Drone ini dapat mengakses lokasi-lokasi yang sulit atau bahkan tidak dapat dijangkau. Selain itu, drone ini juga dapat mengumpulkan informasi melalui kamera video yang terpasang.

Penelitian lebih lanjut mengenai presisi cara terbang burung kolibri dan implikasinya dalam kehidupan sehari-hari memungkinkan terjadinya penemuan drone semacam ini, yang membuat kita dapat melihat wilayah-wilayah alami yang belum dapat dipetakan secara detail dan efektif. Temuan semacam ini nyatanya terjadi jauh lebih cepat dibandingkan prediksi yang diyakini sebelumnya. Kemajuan teknologi yang dapat kita lihat dari drone ini dapat diterapkan untuk memantau cuaca, mengirim paket, dan bahkan untuk sinematografi.

Penerbangan yang senyap

Sebagai predator pada malam hari, burung hantu mengandalkan teknik terbang secara diam-diam agar bisa menangkap mangsa. Untuk lepas landas sebelum terbang, burung hantu membutuhkan gaya angkat. Selain itu, mereka juga membutuhkan lebih banyak energi untuk tetap berada di udara.

Untuk menghasilkan gaya angkat tersebut, burung hantu harus mengepakkan sayapnya yang berukuran besar. Ketika burung hantu mengepakkan sayapnya yang lebar, bukankan mereka akan menghasilkan suara yang sangat keras, yang tentunya akan membuyarkan tujuan untuk memangsa secara sembunyi-sembunyi?

Ketika sedang terbang, gerakan dari sayap seekor burung menciptakan turbulensi di udara yang menghasilkan suara kepakan sayap. Namun, tidak seperti burung pada umumnya, burung hantu memiliki sebuah mekanisme luar biasa yang dapat mengurangi kebisingan selama mereka terbang. Rahasianya terletak pada struktur bulu mereka.