Akhir Karantina Italia, Mengapa Kita Bisa Berkaca Pada Pengalamannya?

By Mahandis Yoanata Thamrin, Sabtu, 23 Mei 2020 | 19:21 WIB
Setelah Italia mengakhiri karantina, warga berangsur kembali beraktivitas di ruang publik. Tampak pesepeda mengenakan masker sedang melintas di Piazza del Duomo, Milan, pada pertengahan Mei 2020. (Rieska Wulandari)

Nationalgeographic.co.id— Jika gerimis di Italia sama menakjubkannya dengan gerimis di Indonesia, virus di Italia pun sama mematikannya dengan virus di Indonesia. Pelajaran pertama. Awal pandemi di Italia diikuti oleh berita-berita hoaks yang berseliweran di media sosial, sentimen xenofobia terhadap ras tertentu. Namun, warga bisa segera meredamnya. Pelajaran kedua. Jelang pemberlakukan kebijakan karantina, para pekerja di Kawasan Lombardia justru pulang kampung. Mereka memilih menjauh dari Kota Milan, yang saat itu mulai menjadi episentrum pandemi. Celakanya, mereka justru sebagai pembawa virus untuk keluarga di kampung. Mudik bukanlah solusi meredam berjangkitnya virus.Pelajaran ketiga. Karakter warga Italia yang selalu menjalin kedekatan dan kekerabatan menjadi salah satu pemicu meledaknya jumlah warga yang terinfeksi. Pembatasan sosial adalah kunci untuk memutus penyebaran virus.  

Baca Juga: Akhir Karantina Italia, Laporan Pandangan Mata dari Episentrum PandemiPelajaran keempat. Pemerintah daerah bersinergi kuat dengan pemerintah pusat. Pemerintah berdisiplin menerapkan aturan dan mendorong transparansi data. Kebijakan untuk mengakhiri karantina diputuskan karena melihat kecenderungan pasien terinfeksi yang menurun. Ini bukan kebijakan ideal karena fasenya masih rentan atau pemulihan. Dorongan lainnya, ekonomi harus bangkit segera.Pelajaran kelima. Kendati infrastruktur kesehatan memadai pada kondisi normal, tetap saja rumah sakit tidak mampu menyediakan pelayanan standar saat tsunami korban virus berdatangan.Pelajaran keenam. Infrastruktur kesehatan lumpuh. Peti-peti mati berjajar di jalan. Namun, pemerintah mendukung dan menjamin logistik bagi keluarga-keluarga yang harus melakukan karantina mandiri. Kualitas kepemimpinan memang dipertaruhkan dan teruji pasa masa ini.Pelajaran ketujuh. Munculnya gerakan sosial untuk meringankan warga yang rentan terinfeksi seperti orang tua. Sukarelawan tampil dari pelajar SMA sampai masyarakat umum. Para pemilik rumah mode mengajak para desainer untuk menghimpun dana pembuatan masker dan penyanitasi tangan yang dibagikan gratis untuk warga. Industri busana mengubah bengkel kerja mereka menjadi bengkel kerja untuk industri dadakan tadi.

Pelajaran kedelapan. Warga benar-benar berupaya berdisiplin. Mereka sadar sedang berperang dengan musuh yang tak kelihatan. Meski sudah berdisiplin pun korban sudah berjatuhan, apalagi tak berdisiplin.

Baca Juga: Kalahkan Italia dan Jepang, Spanyol Jadi Negara Paling Sehat di Dunia

Setelah tiga bulan yang mencekam, suasana pintu masuk utama Stasiun Centrale Milan kembali hidup. Tampak sebagian gerai telah membuka aktivitasnya. (Rieska Wulandari)
Situasi akhir karantina Italia ibarat orang yang baru sembuh dari sakit berat. Dia harus bangkit untuk berjalan ke depan, meski harus tertatih-tatih dan sempoyongan. Simpulannya, ada beberapa fenomena di Italia yang juga terjadi di Indonesia.

Demikianlah catatan ringkas saya dan Didi Kaspi Kasim dari perbincangan bersama Rieska Wulandari dalam sesi siaran langsung #BerbagiCerita Akhir Karantina Italia, Laporan Pandangan Mata dari Episentrum Pandemi. Rieska adalah jurnalis lepas yang telah tinggal di Kota Mode Milan, selama satu dekade terakhir. Dan, temuan tadi hanya segelintir dari kehidupan nyata di Italia, dan tidak mewakili pandangan semua orang Italia.

Sebagai kota mode dan otomotif, saat warga Italia dilanda kecemasan tentang pandemi ini, ada pemeo yang setidaknya membesarkan warga Italia. "Orang Italia boleh jatuh tersungkur di ICU," kata Rieska, "tetapi pompanya Ferari dan maskernya dari Armani."

Kita tentu bertanya-tanya mengapa virus menyebar begitu dahsyat di Italia? Ibarat bensin yang tersambar api.

"Kata epidemologis, penyebaran penyakit ini cepat sekali," tutur Rieska. "Bahkan ada satu pasien di sini yang secara survei bisa menginfeksi 60 orang. Luar biasa memang kekuatan penyebaran virus ini."

Pandemi yang begitu cepat di Italia disebabkan beberapa faktor, salah satunya adalah kepadatan penduduk. "Pertama adalah densitas dan populasi. Di Italia orang hidup di rusun, satu kompleks bisa padat terdiri atas beberapa keluarga. Itu berisiko tinggi," ujarnya.

Dia menambahkan bahwa pada awal penanganan pandemi di Italia, penderita yang terinfeksi masih di karantina dalam gedung yang sama. Ini berbeda dengan penanganan di Wuhan yang sejak awal memisahkan dan memindahkan mereka yang terinfeksi.

Sebelum pemerintah Italia menyatakan berjangkitnya pandemi pun ternyata virus sudah menjangkiti penghuni rumah-rumah jompo. "Dan itu unstopable—tiba-tiba dalam satu malam di rumah jompo bisa meninggal tujuh orang!" kata Rieska. "Itu kita seperti dalam perang tiba-tiba yang meninggal banyak sekali, tetapi musuhnya tidak kelihatan. Itu yang membuat kita terkaget-kaget."