Mengapa Banyak Orang Tidak Mematuhi Protokol COVID-19? Ini Analisis Peneliti

By National Geographic Indonesia, Senin, 8 Juni 2020 | 09:53 WIB
Ilustrasi masker. (freepik)

Nationalgeographic.co.id - Tagar #IndonesiaTerserah belakangan sering muncul dalam perbincangan publik di media sosial sebagai sarana penyaluran rasa frustrasi dan kekecewaan masyarakat terhadap penanganan wabah COVID-19 di Indonesia.

Pengguna sosial menyertakan tagar ini dalam menggambarkan ketidakpedulian masyarakat terhadap upaya pembatasan jarak dan kebijakan dari pemerintah yang tidak konsisten dalam penanganan pandemi.

Berbagai bentuk tindakan berisiko masyarakat banyak diberitakan seperti kumpul-kumpul di penutupan gerai McDonald’s di Jakarta, penumpang pesawat membludak hingga pasien COVID-19 yang menolak dirawat bahkan berusaha kabur dari rumah sakit.

Sementara laju jumlah kasus positif terus meningkat dan kematian tenaga medis yang tinggi.

Baca Juga: Mengapa Sulit Menahan Diri Agar Tidak Menyentuh Wajah Kita?

Ini terjadi di atas kebijakan-kebijakan pemerintah yang meragukan, bahkan tidak konsisten.

Ilmu psikologi sosial kesehatan menjelaskan bahwa ketidakpatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan sebagian besar terjadi karena kurangnya pemahaman mereka terhadap bahaya penyakit dan manfaat penanganan dan besarnya hambatan dalam akses kesehatan. Pemerintah punya andil besar di sini.

Landasan perilaku

Ahli-ahli psikologi sosial telah mengembangkan bermacam model untuk menjelaskan dan memperkirakan perilaku-perilaku terkait kesehatan, terutama dalam menggunakan sarana kesehatan.

Pada 1950-an, beberapa psikolog sosial di Amerika Serikat (AS) mulai mengembangkan Health Belief Model (HBM) yang masih digunakan secara luas dalam riset perilaku kesehatan hingga kini.

HBM dapat dilihat sebagai perpaduan pendekatan filosofis, medis, dan psikologis untuk menjelaskan kepatuhan atau ketidakpatuhan masyarakat dalam melakukan upaya kesehatan.

Model ini dikembangkan untuk mengeksplorasi berbagai perilaku kesehatan baik jangka panjang maupun jangka pendek.

HBM terdiri atas enam komponen:

  1. Persepsi kerentanan (perceived susceptibility), yaitu bagaimana seseorang memiliki persepsi atau melihat kerentanan dirinya terhadap penyakit.

  2. Persepsi keparahan (perceived severity), yaitu persepsi individu terhadap seberapa serius atau parah suatu penyakit.

  3. Persepsi manfaat (perceived benefit), yaitu persepsi individu akan keuntungan yang ia dapat jika melakukan upaya kesehatan.

  4. Persepsi hambatan (perceived barriers), yaitu persepsi individu akan adanya hambatan dalam melakukan upaya kesehatan.

  5. Petunjuk bertindak (cues to action), yaitu adanya kejadian atau dorongan untuk melakukan upaya kesehatan yang berasal dari kesadaran diri atau dorongan orang lain; misalnya iklan kesehatan atau nasihat dari orang lain.

  6. Kemampuan diri (self-efficacy), yaitu persepsi individu tentang kemampuan yang dimilikinya. Seseorang yang menginginkan perubahan dalam kesehatannya dan merasa mampu, akan melakukan hal-hal yang diperlukan untuk mengubah perilaku kesehatannya; demikian pula sebaliknya.

HBM menjelaskan kenapa masyarakat tidak patuh terhadap protokol kesehatan pandemi COVID-19.

Di satu sisi, masyarakat kurang memiliki pemahaman seberapa rentan mereka tertular COVID-19, seberapa parah penyakit ini, apa manfaat melakukan pencegahan, dan kurangnya petunjuk untuk bertindak.

Di sisi lain masyarakat menghadapi berbagai hambatan untuk mengakses pada fasilitas kesehatan.

Kelima faktor tersebut akhirnya menyebabkan terjadinya salah persepsi terkait self-efficacy: mereka tidak yakin akan kemampuan dan tindakannya.

Jika masyarakat memiliki persepsi yang baik terhadap kerentanan diri, bahaya penyakit, keuntungan dari upaya pencegahan yang dilakukan dan mendapat petunjuk bertindak serta minimalnya hambatan, maka self-efficacy dapat dibangun.

Keyakinan akan kemampuan dan kesanggupan seseorang untuk dapat menjalankan protokol kesehatan dapat ditumbuhkan dengan cara melihat pencapaian kesehatan yang ia lakukan pada masa lalu; melihat keberhasilan orang lain (jika orang lain bisa, maka saya pun bisa); bersikap tegas dengan diri sendiri; dan menghilangkan sikap emosional dan menetapkan tujuan.

Sebagian besar ada di tangan pemerintah

Pemerintah dengan segala upayanya masih belum optimal dalam membangun kesadaran masyarakat terhadap bahaya wabah dan kemudahan akses kesehatan.

Dalam komunikasi terkait wabah, misalnya, pemerintah masih menggunakan istilah rumit dan hanya mudah dipahami masyarakat perkotaan terdidik yang berasal dari kelas menengah.

Pejabat pemerintah bahkan bisa mengeluarkan pernyataan berbeda-beda, padahal keadaan darurat membutuhkan komunikasi yang komprehensif dan konsisten.

Belum lagi keengganan pemerintah melaksanakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dengan sungguh-sungguh.

Dalam hal akses, penduduk miskin mengalami kesulitan untuk mendapatkan tes COVID-19 dan masyarakat menengah ke bawah menjadi lebih rentan.

Pemerintah hanya menyediakan tes gratis di rumah sakit bagi mereka yang pernah kontak dengan kasus positif atau mengunjungi daerah berisiko dan menunjukkan gejala klinis COVID-19. Padahal beberapa kasus terbukti tanpa gejala umum.

Sementara, masyarakat yang mampu dapat melakukan tes secara mandiri di rumah sakit dengan biaya yang cukup mahal.

Kepatuhan masyarakat kunci keberhasilan

Pemerintah akhir-akhir ini gencar mengumandangkan pelonggaran pembatasan dan telah mengeluarkan protokol untuk apa yang pemerintah sebut sebagai “tatanan normal baru”.

Kepatuhan masyarakat menjadi semakin penting. Upaya membangun kesadaran masyarakat harus ditingkatkan dengan berbagai cara.

Di antaranya, pertama, dengan melakukan komunikasi yang lebih efektif hingga ke akar rumput, melalui berbagai media dan metode yang sesuai dengan keragaman usia, pendidikan dan budaya masyarakat/kearifan lokal.

Baca Juga: Empat Tanda Anda Meremehkan dan Merendahkan Penyakit Mental

Kedua, kampanye yang lebih jelas dan terarah sehingga masyarakat memiliki kesamaan pandangan untuk melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit; alih-alih sebagian patuh dan sebagian melanggar sehingga sia-sia semua upaya sia-sia.

Kampanye membangun optimisme Indonesia bisa menghadapi COVID-19 juga perlu diciptakan dan lebih kuat disosialisasikan.

Ketiga, mempermudah akses kesehatan dengan informasi yang jelas dan terus-menerus sehingga masyarakat cepat melakukan tindakan pemeriksaan, pengobatan dan isolasi mandiri ketika terinfeksi.

Keempat, kebijakan yang konsisten sehingga tidak membingungkan masyarakat.

Penulis: Anastasia Heni, Assistant researcher, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.