Berkesenian di Zaman Edan, Strategi Bertahan di Tengah Pagebluk

By Gita Laras Widyaningrum, Jumat, 26 Juni 2020 | 23:04 WIB
Kisah–kisah wayang orang dinukil dari Ramayana dan Mahabrata, yang megah dan sarat makna sebagai teladan hidup. Namun, kemegahan cerita itu tidak tercermin pada nasib para seniman wayang orang. Sepanjang berjangkitnya pagebluk, gedung pertunjukan mereka ditutup, aktivitas pertunjukan tiap malam pun (Paguyuban Wayang Orang Bharata)

Nationalgeographic.co.id – Pagebluk COVID-19 memberikan batasan-batasan dalam kehidupan kita saat ini. Ada banyak aktivitas yang dihentikan sementara untuk mencegah penyebaran virus corona. Kondisi ini pun memengaruhi para seniman yang tidak bisa tampil di panggung selama pandemi. Muncul disrupsi yang mengharuskan mereka lebih kreatif dalam menyuguhkan karyanya.

Pada acara #BerbagiCerita bertajuk “Berkesenian di Zaman Edan”, Deddy Lisan, jurnalis dan vokalis Andra and the Backbone, mengatakan bahwa saat ini para musisi jadi lebih memanfaatkan media sosial untuk berinteraksi dengan penggemarnya. Mulai dari menyelenggarakan konser online hingga sesi berbincang dengan para fans.

Baca Juga: Riwayat Wayang Orang yang Melampaui Zaman: Tragedi atau Prestasi?

Andra and the Backbone pun melakukan hal yang sama. Jika dulu menggunakan platform digital hanya untuk menyapa penggemar yang tidak bisa hadir secara langsung, sekarang mulai dimanfaatkan lebih maksimal .

“Dulu media sosial hanya menjadi kepanjangan tangan. Karena kami tidak bisa tampil di semua tempat, jadi biasanya menyapa mereka yang tidak bisa hadir melalui media sosial. Saat ini, digunakan untuk berinteraksi dengan semua fans,” ungkapnya.

Konser 7 Ruang menampilkan Vina Panduwinata yang tayang langsung lewat platform Youtube. (Feri Latief)

Meski begitu, Deddy mengatakan, inovasi digital sebenarnya sudah muncul sejak lama. Hampir semua wilayah Indonesia yang pernah dikunjunginya, terkoneksi dengan internet. Beberapa musisi muda, dalam beberapa tahun terakhir juga sudah mendistribusikan karyanya di platform digital seperti Youtube, Apple Music, atau Spotify. Mereka juga aktif mempromosikan lagunya di media sosial. Hanya saja, selama pandemi, karena muncul disrupsi, pemanfaatannya ditingkatkan.

“Untuk mengatasi kebosanan, berkarya dan menikmati hidup, pilihannya beralih ke layanan digital,” papar Deddy.

Tidak hanya musisi dari budaya pop, pagebluk juga mengubah kehidupan para seniman tradisional. Seniman Wayang Orang Bharata misalnya, tidak bisa tampil sejak Februari lalu karena gedung pementasan mereka ditutup selama pandemi.

Wayang orang mementaskan karya pujangga-pujangga agung. Nuansa ceritanya begitu fantastik, epik, puitik, klasik, heroik, dan kadang menggelitik. (Paguyuban Wayang Orang Bharata)

Deddy mengatakan, apa yang dilakukan para seniman pop culture untuk bertahan di tengah masa sulit ini, juga mungkin bisa diadaptasi oleh seni tradisi. Pada dasarnya, mereka mengalami nasib yang sama, yakni tidak bisa mengundang orang-orang untuk menyaksikan pertunjukkan.

“Dalam konteks wayang orang, mungkin isi ceritanya tidak berubah dari tradisi, tapi setidaknya penyampaiannya disesuaikan,” katanya.