Akankah Perjalanan Wisata Minat Khusus Kian Digemari Pascapandemi?

By Mahandis Yoanata Thamrin, Selasa, 14 Juli 2020 | 18:48 WIB
Seorang warga Badui membawa pisang yang diambil dari kebunnya untuk dijual di pasar. (Ulet Ifansasty/Getty Images)

Nationalgeographic.co.id—Awal Juli ini, kita mendapat kabar miris. Ketika kampung-kampung adat bersolek menjadi bagian wisata, warga Badui justru menolak kawasannya menjadi bagian tujuan wisata.

Alasannya cukup manusiawi. Semenjak brosur dan narasi Badui bagian tujuan wisata, banyak pelancong singgah di kampung mereka. Mungkin dari sisi ekonomi, kedatangan pelancong bisa membatu perekonomian setempat. Namun, semenjak saat itu pula warga Badui menyaksikan kemirisan kampung mereka. Permasalahan sampah dan nilai-nilai tradisi yang tak lagi dihormati menjadi penyebabnya. Mereka pun seolah merasa tidak dihargai sebagai manusia karena dianggap sebagai tontonan belaka.

Pariwisata tidak hanya soal meningkatnya aktivitas ekonomi kreatif, tetapi juga permasalahan sosial, budaya, dan lingkungan. Perkara warga Badui tadi hanya pucuk gunung es dari dampak buruk wisata massal terhadap kehidupan warga setempat.

Baca Juga: Kepulauan Sangihe dan Kerajaan Bawah Lautnya

Salomina Pabika menyelesaikan pembuatan noken di Jalan Anelagak Hotel Jerman, Kampung Yumugima, Distrik Siepkosi, Kabupatten Jayawijaya, Papua. Salomina merupakan salah satu penggerak masyarakat perempuan di Kelompok Kerajinan Noken Humi Soge yang memproduksi noken dan mengembangkannya menjadi produ (Djuli Pamungkas/National Geographic Indonesia)

Semenjak pandemi menjangkiti Planet ini—termasuk negeri kita—salah satu sektor ekonomi yang terpukul adalah pariwisata. Pandemi telah menjungkirbalikkan rencana perjalanan berlibur. Semua tempat wisata mati suri, pun hotel dan layanan biro wisata tiarap.

Barangkali, pandemi pula yang mendorong kita untuk merenung dan berpikir ulang tentang format wisata yang sesuai pascapandemi. Salah satu gagasannya adalah pengembangan wisata berbasis minat khusus, yang menekankan pada kedalaman konten ketimbang jumlah pelancong.

Perubahan konsep pariwisata konvensional menuju pariwisata minat khusus. Apa saja tantangannya? (Saya Pejalan Bijak/National Geographic Indonesia)

Konsep wisata berbasis minat khusus dipandang lebih memiliki muatan perjalanan wisata lestari dibandingkan wisata massal. Kendati memiliki ceruk pasar sempit, namun pasarnya cukup mapan. Pelancongnya pun memilih sebuah tujuan karena bagian dari hobi atau minat mereka—misalnya arkeologi, sejarah militer, penelusuran gua, jelajah taman nasional, sampai soal ragam pangan.

Strategi pengembangannya pun lebih terencana, tergantung pada partisipasi warga dan investor setempat. Di samping itu perilaku wisatawannya cenderung akan menghargai budaya dan lingkungan setempat, dan berjangka panjang.

Namun demikian, apa saja tantangan wisata minat khusus di Indoensia? Apakah warga di tujuan wisata telah siap menyongsong konsep wisata ini? Apa saja yang perlu disiapkan warga supaya wisata bisa bersemi kembali?

National Geographic Indonesia, Saya Pejalan Bijak, dan Indonesia Tourism Support menggelar diskusi daring Tren Berwisata: Dari Massal ke Minat Khusus. Diskusi digelar pada 15 Juli 2020 pukul 14.00-16.00 WIB via ZOOM.