Mendefinisikan Kembali Perjalanan ke Bandung Selatan di Waktu Malam

By National Geographic Indonesia, Rabu, 29 Juli 2020 | 21:25 WIB
Bragaweg, nama lama Jalan Braga di Bandung. Ketika meremang senja, kehidupan di seruas jalan ini berlanjut bersama pendar-pendar lampu kota. (Didi Kaspi Kasim)

Pangalengan berada di ketinggian sekitar 1.500 meter di atas permukaan laut, dan sejak akhir abad ke-19 dikenal sebagai kawasan perkebunan teh. Salah satu juragan teh nan beken dan filantropi pernah terinspirasi oleh jernihnya langit Bandung Selatan, Karel Albert Rudolf Bosscha. Atas gagasannya, sebuah observatorium megah menjadi tengara di kawasan Lembang. Atas jasanya dalam bidang astronomi, sebuah asteriod menggunakan namanya— 11431 Karelbosscha.

Vila Jerman, demikian warga menjuluki rumah peristirahatan dengan arsitektur Eropa. Tampak Galaksi Bimaksakti menunjukkan gelora pesonanya di angkasa Pangalengan pada dini hari. (Didi Kaspi Kasim)

Selain Bosscha, komponis sohor Ismail Marzuki juga pernah terkesima dengan langit selatan Bandung. Bandung Selatan di waktu malam. Terselubung sutra mega putih. Laksana putri lenggang kencana. Duduk murung menanti kekasih… demikian petikan lirik karyanya.

Didi dan Arbain lumayan beruntung. Taburan gemintang menggelorakan langit malam. Keduanya berhasil mengabadikan galaksi kita, Bimasakti, dengan menggunakan gawai cerdas mereka seri terbaru—bukan sekadar gawai cerdas berkamera. Hasil tangkapan kamera dalam keadaan minim cahaya pun tampak memuaskan berkat perkembangan teknologi kecerdasan buatan yang di tanam di gawai cerdas terkini.

Bimasakti, terinspirasi kisah Mahabarata. Ketika Bima mencari amerta atau air keabadian. Dia bertarung sengit dengan ular naga raksasa, yang pada akhirnya dimenangkan oleh Bima. Selendang kabut putih di langit itulah yang disepadankan oleh nenek moyang kita sebagai ular naga yang melilit Sang Bima.

Alih-alih mengikuti sebutan Milkyway, yang bermakna “Jalur Susu”, kita memiliki julukan sendiri. Sejatinya ini menunjukkan bahwa leluhur kita memiliki kepekaan terhadap lingkungan sekitar.

Bilah-bilah cahaya matahari terbit yang menembus kabut Bukit Cukul, Pangalengan. Semua foto diabadikan dengan menggunakan gawai cerdas mutakhir, vivo X50 Pro. (Didi Kaspi Kasim)

Dari kisah lain sebutan “Jalur Susu”, keesokan harinya Didi dan Arbain singgah ke sebuah pabrik pengolahan susu. Pangalengan juga dikenal dengan peternakan sapi perah dan produk olahan susunya. Dan, Pabrik Permen Karamel TK menjadi penandanya sejak lima dekade silam.

“Pangalengan sebagai sentra pengolahan susu perlahan mulai kembali bergeliat di tengah pagebluk,” kata Didi. “Hari-hari pertama para pekera mulai kembali ke rutinitas sebelumnya. Mengolah adonan susu, sebagai bahan dasar pembuatan dodol, permen, krupuk, dan berbagai cinderamata khas selatan Bandung ini.”

“Dari atas Bukit Cukul, suhu yang dingin membuat satu tantangan sendiri menyaksikan barisan bukit-bukit terhampar menampilkan wajah Pangalengan,” kata Didi. “Gubuk-gubuk warung yang biasa ramai dipenuhi pengunjung terlihat sepi dan belum kembali dibuka oleh para pedagang di masa pandemi ini. Surga-surga pariwisata negeri sedang berupaya keras bertahan dan bangkit kembali.”