Nationalgeographic.co.id - Dalam penulisan sejarah ilmu pengetahuan di Hindia Belanda, peran orang-orang pribumi kerap diabaikan. Hal ini terjadi karena masih kuatnya narasi kolonial dalam penulisan sejarah.
Narasi jenis ini melihat kisah sejarah dari sudut pandang penjajah yang seringkali meminggirkan keberadaan orang-orang yang dijajah. Padahal dari beberapa sumber tertulis, orang-orang pribumi disebut memiliki pengetahuan yang mumpuni.
Seorang ahli botani dan hewan asal Amerika, David Fairchild, di dalam otobiografinya The World was My Garden: Travels of a Plant Explorer menyebut beberapa nama orang pribumi yang membantunya selama kunjungan ke Hindia Belanda pada 1895. Ia diundang oleh Melcior Treub, Direktur Kebun Raya Bogor, untuk menjadi peneliti tamu di sana.
Di buku itu, Fairchild memuji Oedam, Kepala Tukang Kebun di Kebun Raya Bogor, sebagai “ahli botani yang luar biasa dalam segala aspek.” Ia kagum karena Oedam mengingat setiap tanaman koleksi Kebun Raya Bogor. Tidak hanya nama lokal, tapi juga nama tanaman-tanaman tersebut dalam sistem Eropa yang dikelompokkan berdasarkan genus dan spesiesnya.
Selain Oedam, ada Mario, pembantu lokal khusus untuk Fairchild, yang dianggap kompeten karena keterampilannya menggunakan peralatan modern penunjang penelitian.
Fairchild juga bertemu Papa Iidan yang bekerja sebagai pengumpul materi bagi para ilmuwan dan tahu lebih banyak soal serangga dibanding dirinya.
Ilmuwan asal Skotlandia, Henry Ogg Forbes, yang meneliti tanaman dan hewan tropis di Hindia Belanda selama kurun waktu 1878-1883, memiliki pendapat yang serupa.
Forbes dibuat terkesima oleh orang-orang Banten. Ia menemukan fakta bahwa mereka sangat cerdas dan pengamat yang mengagumkan. Di esainya “Through Bantam” yang dimuat dalam Science and Scientists in the Netherlands Indies, Forbes memuji pengetahuan orang-orang lokal yang memberi nama tanaman dan hewan lokal menyerupai sistem Eropa.
Simon Schaffer, profesor sejarah dan filsafat Ilmu Inggris, dalam The Brokered World: Go-Betweens and Global Intelligence 1770 — 1820 menyebut orang-orang seperti Oedam, Mario, dan Papa Iidan sebagai sebagai perantara (go-between) antara ilmuwan Barat dan pengetahuan lokal.
Meski peran mereka penting, kelompok ini sering hilang dari narasi sejarah kolonial. Artikel ini akan menjelaskan mengapa hal tersebut bisa terjadi.
Barat sebagai pusat
Salah satu penyebabnya adalah karena sejarah ilmu masih dibahas dalam perspektif Barat yang berat sebelah. Perspektif yang dominan ketika itu mengatakan bahwa orang-orang Eropa adalah pihak yang aktif memproduksi dan menyebarkan sains, sedangkan masyarakat non-Eropa hanya penerima pasif.
Salah satu pencetusnya, George Basalla, sejarawan sains Amerika mengatakan dalam esainya bahwa tahap penyebaran sains ke wilayah non-Eropa berlangsung satu arah.