Nationalgeographic.co.id-Manusia dan alam hidup berdampingan. Fotografi mengomunikasikan cerita dan narasi Indonesia. Begitu juga dengan isu lingkungan, yang dekat dengan isu politik.
"Jadi memang semestinya padu padan antara Kompas dan National Geographic Indonesia adalah salah satunya [mengaitkan isu lingkungan dan politik]. Harian Kompas mendorong terciptanya regulasi. Kita mempercayai gerakan yang berisik sehingga kebijakan politik itu harus cepat terjadi. Percuma rasanya kalau hanya mendorong regulasinya saja. Tapi kuncinya adalah perilaku." ucap Didi Kaspi Kasim, Editor In Chief National Geographic Indonesia dalam diskusi daring Politik Fest: Penjaga Semesta.
Baca Juga: Gunung Api Purba yang Menuntaskan Dahaga
Didi melanjutkan bahwa media sosial sepatutnya menjadi tempat informatif. Bagaimana tiap orang bisa menyuarakan orang-orang yang tidak punya suara. Karena masih banyak orang yang membutuhkan bantuan karena mereka tidak terdengar.
"Seperti di pantura misalnya ada orang orang yang terkena HIV AIDS yang perlu disuarakan. Kalau misalnya kita bisa menjadi katalis di sosial media menjadi penghubung antara poin A dan poin B itu menjadi bermanfaat. Tidak hanya sekedar berisik tapi juga berisi. Di Aceh Timur ada anak menjadikan asam buah dikonversikan menjadi listrik. Suara local heroes itu yang bisa menjadi contoh bagi temen temen lain," imbuh Didi.
Pada kesempatan ini Fotografer Kompas, Raditya Mahendra Yasa, membagikan kisah dunia fotografi jurnalistik di kawasan Pantura. Cerita fotografi bergantung pada inisiatif diri sendiri, demikian hemat Raditya.
"Foto jurnalis itu 80 persen inisiatif kita sendiri, terutama di daerah. Kecuali ada penugasan-penugasan tertentu. Saya kala itu memotret Pantura, yang mulai berubah dari tambang udang galah pada 30 tahun yang lalu. Akhirnya pelan-pelan bergeser ke kawasan industri," ucapnya.
Baca Juga: Mengapa Bom Nuklir Menyebabkan Terbentuknya Awan Jamur?
Salah satu contoh ketika manusia dan alam hidup bersandingan ialah di Agats, Papua. Terutama kebergantungan mereka dengan aliran sungai. Kalau masyarakat Agats merusak sungai, mereka tidak mendapatkan makanan.
"Dengan kita menjaga alam maka alam akan menjaga kita. Bencana adalah ketika kita tidak bisa memanage alam," ucap Didi.
Berkaitan dengan kebijakan ketahanan pangan, Didi juga memberikan komentar bahwa telah terjadi ketidakseimbangan antara wilayah timur dan barat perihal pangan. Saat berkunjung ke Likotuden, Maumere, Didi melihat masyarakat di sana telah kehilangan rasa akibat program penyamarataan beras sebagai makanan pokok sejak 1990-an.
Padahal, ungkap Didi, penduduk di sana telah memiliki makanan yang telah menjadi budayanya sendiri yakni sorgum. Karena itulah ia merasa bahwa Indonesia perlu menarasikan kembali apa yang dimiliki oleh masing-masing daerah.