Mengenal Puro Mangkunegaran dan Modernitas Batiknya

By National Geographic Indonesia, Rabu, 12 Agustus 2020 | 20:08 WIB
Prangwedanan di Puro Mangkunegaran. Di sinilah setiap pangeran yang akan menjadi Adipati Mangkunegara dilantik sebelum menempati takhta singgasana. (Alfonsus Aditya)

Penulis: Alfonsus Aditya

Nationalgeographic.co.id - Terletak di tengah pusat kota Surakarta, tidaklah begitu sulit untuk mengidentifikasi bangunan besar dan lapang di tengah kota tersebut, yakni Puro Mangkunegaran yang merupakan pusat pemerintahan dan kediaman Mangkunegoro.

Kadipaten yang terbentuk pada tahun 1757 melalui Perjanjian Salatiga antara R.M. Said yang kemudian bergelar K.G.P.A.A Mangkunegoro I dan Pakubuwana III, raja dari Kasunanan Surakarta ini, mencatat beberapa sepak terjang modernitas yang pernah hadir di tanah Nusantara.

Baca Juga: #JelajahDariRumah: Menyusuri Jejak Mangkunegara Sembari Berdonasi

Sepak terjang Mangkunegaran di dalam perkembangan masyarakatnya dapat terlihat dengan beberapa pembangunan yang masif yang terkait dengan kesejahteraan masyarakatnya, sebut saja beberapa pabrik gula yang didirikan oleh Mangkunegoro IV dan juga pembangunan stasiun kereta api Solo Balapan yang tanahnya merupakan milik dari Mangkunegoro itu sendiri.

Selain kedua tempat tersebut, era keemasan Puro Mangkunegaran juga masih berlanjut di era Mangkunegara VII yang banyak melakukan revitalisasi dan pembangunan di wilayahnya. Sebut saja Ponten yang merupakan sarana MCK yang diperuntukkan bagi masyarakat, pembangunan taman Balekambang, pendirian stasiun radio yang menjadi cikal bakal Radio Republik Indonesia, revitalisasi pasar Legi.

Selain bangunan dan fasilitas, bentuk modernitas kesultanan ini juga hadir dalam gaya berbusana, termasuk batik.  

Batik yang berkembang pada awal era Imperium Mataram, dikenal sebagai batik Mataraman dan pada akhirnya berkembang di dalam tembok Karaton Kasunanan Surakarta--menghasilkan inovasi dan kreatifitas di dalam Kadipaten ini.

Layaknya batik yang berkembang di tembok Kasunanan Surakarta, proses membatik di dalam Puro Mangkunegaran pun dilakukan oleh para wanita beserta abdi dalem mereka sehingga melahirkan motif-motif beserta corak baru.

Batik motif Candi Luhur. (Alfonsus Aditya)

Motif-motif yang berkembang pun sangat dinamis. Perpaduan antara motif buketan dipadu dengan gaya-gaya pakem klasik serta pewarnaan sogan Jawa, menghasilkan karya-karya baru yang indah. Sebut saja beberapa motif seperti Candi Luhur, Grageh Waluh, atau motif Pakis yang menjadi batik yang wajib dimiliki oleh seluruh kerabat Mangkunegaran.

Lalu bagaimana dengan motif batik larangan? Apakah ada suatu motif tertentu yang tidak boleh dipakai oleh orang lain? Tentu, seperti layaknya Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan Puro Pakualaman, motif batik parang adalah motif batik terlarang yang hanya boleh dipakai oleh Adipati dan keluarganya, hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari sejarah berdirinya Imperium Mataram itu sendiri.