Nationalgeographic.co.id - Saat ini di Myanmar, terutama Burma, mempercantik diri ala manusia purba masih terpampang di mana-mana. Wanita, pria, dan anak-anak mengenakan thanaka, pasta berwarna kuning pucat yang terbuat dari kulit pohon yang dilumatkan lalu dioleskan ke wajah mereka.
Berbeda dengan kosmetik di industri modern, thanaka tidak dimaksudkan untuk menyembunyikan kekurangan dan menonjolkan fitur wajah. Thanaka adalah simbol kesehatan dan kecantikan yang cerah.
Olesan kosmetik tersebut menghiasi jutaan pipi dan dahi orang-orang Myanmar agar bisa dilihat oleh semua orang. Mulai dari para petani tua yang keriput, pegawai muda di perkotaan, hingga anak-anak yang ingin pergi ke sekolah.
Baca Juga: Nguyen Van Chien, Kakek dengan Rambut Gimbal Sepanjang Lima Meter
“Thanaka membuat kulit lebih lembut, menghilangkan jerawat dan ruam,” jelas U Nyo (55), seorang petani yang lahannya dipenuhi pohon thanaka, dilansir dari laman National Geographic.
“Pohon liar paling bagus, terutama yang ditanam burung pemakan buah. Pohon yang dibudidayakan kehilangan kekuatannya."
U Nyo bahkan meminum sesendok kulit kayu yang sudah dilumatkan setiap pagi, dicuci dengan secangkir air. Ini ramuan untuk kesehatan umum yang baik, katanya.
Referensi sejarah pertama tentang thanaka muncul dalam sebuah puisi dari istana Raja Rajadhirat, pemersatu Burma abad ke-14. Namun, penggunaan pigmennya kemungkinan jauh lebih lama.
Saat ini, penghias kulit organik ada di mana-mana di seluruh komunitas Myanmar—Buddha, Muslim, dan etnis minoritas yang lebih kecil—sehingga telah menjadi simbol budaya Burma yang setara dengan longyi, rok nasional mirip sarung yang dikenakan oleh pria dan wanita.
“Tidak ada bandingannya dengan kosmetik modern,” kata Ma Tin Hla (36), seorang penjual thanaka. “Kosmetik yang dibeli di toko sebenarnya merusak warna kulit Anda. Thanaka melakukan yang sebaliknya. Itu memperbaikinya.”