Praktik Politik Gelar Keturunan Nabi Muhammad Era Ottoman Turki

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 8 Desember 2020 | 07:00 WIB
bagian dalam dari Hagia Sophia, salah satu destinasi andalan Turki. Sejak 1935 hingga kini, Pemerintah Turki menjadikan Hagia Sophia sebagai museum. (Didi Kasim/National Geographic Indonesia )

 

Nationalgeographic.co.id—Memuliakan keturunan Nabi Muhammad atau Ahlul Bayt-nya merupakan salah satu anjuran yang berlaku di masyarakat Muslim. Bagi individu yang memiliki garis keturunan tersebut, atau yang biasa disebut sayyid (atau habib bagi masyarakat umum Indonesia), memiliki hal istimewa di kalangan Muslim. Anjuran memuliakan keturunan Nabi pun juga tertera dalam kitab suci Al Quran dan Sunnah.

Setiap keturunan Nabi Muhammad di Indonesia didokumentasikan, disertifikasi, didata, dan dinasab oleh lembaga Rabithah Alawiyah yang berada di Jakarta. Gunanya agar menjadikan bukti seseorang bila dirinya adalah seorang sayyid melalui buku seperti sertifikat.

Tapi jauh sebelum kegiatan sertifikasi dilakukan di Indonesia, Kesultanan Ottoman juga telah melakukannya pada abad ke-16. Temuan ini diungkapkan dalam The Ottoman State and Sescendants of the Prophet in Anatolia and The Balkans (c. 1500-1700) yang ditulis oleh Hülya Canbakal, sejarawan yang berfokus pada sejarah Ottoman dan hukum.

Baca Juga: Akankah Turki Mengonversi Museum Hagia Sophia Menjadi Masjid?

Canbakal mengemukakan bahwa praktik sayidisasi juga dilakukan pada masa kesultanan untuk tujuan politik karena memiliki banyak keuntungan.

"Dalam beberapa latar belakang sejarah, bagaimanapun, keturunan Muhammad diasumsikan lebih penting sehingga banyak orang, rakyat jelata dan penguasa, sama-sama mengaku sebagai keturunan darinya," tulis Canbakal.

Klaim besar yang terjadi pada abad ke-15 dan 16 juga terjadi disebabkan karena adanya diskriminasi pada etnis, suku, dan agama di bawah kekuasaan Ottoman. Melalui klaim administrasi tersebut, mereka berharap untuk mendapatkan perlindungan ekonomi dan di sisi pemerintahan juga mendapatkan pengaruh dan kontrol politik pada etnis, suku, dan agama tertentu.

Kewenangan dalam pendataan sayyid di sejumlah kerajaan-kerajaan Islam dilakukan oleh Naqibulashraf. Namun pendaftaran yang dilakukan oleh Naqibulashraf memiliki kelemahan dalam penulusuran nasab karena regulasinya yang berubah-ubah dari pimpinan ke pimpinan.

Seorang Naqibulashraf dari Basra, Irak. (Khaldoun Alnaqeeb)

"Melalui referensi sisi cerita turun temurun oleh penduduk dalam klaim keaslian dari kaum bangsawan keturunan Nabi Muhammad, ini masih bisa didaftarkan secara tidak langsung (ke Naqibulashraf)," terangnya. "Tingkat akurasinya juga tidak pasti sebab pada klaim dan sertifikasinya tidak jelas"

Ia menemukan bahwa pendaftaran sertifikat klaim sayyid di dekade 1570-an naik hingga 22 orang per tahun dari yang sebelumnya 15 orang per tahun. Bahkan mencapai puncaknya pada periode 1576-1584 hingga 80 orang per tahun.

"Di Masa Aziz Effendi, dengan keras memprotes tentang luas dan konsekuensinya sertifikasi ini, dan memperkirakan ada 300.000 sayyid palsu," terang Canbakal. Protes tersebut mengakibatkan jumlah pendaftaran sayyid menurun selama satu dekade.