Go Laba, Soliditas Orang-orang Bajawa Membangun Kebersamaan

By National Geographic Indonesia, Jumat, 4 Desember 2020 | 08:19 WIB
tim Go Laba yang terdiri dari 7 laki-laki dewasa sedang menabuh gong dan gendang, mengiringi Ja’i. (Keluarga Sa’o Sulu Tei, Dona, Bajawa, Flores)

 

Cerita dan Foto oleh Reinard L. Meo

 

Nationalgeographic.co.id—Gong atau gendang merupakan perkakas kebudayaan yang tentu tak asing, populer, sudah biasa, umum, juga mudah diidentifikasi. Dalam bahasa dan kebudayaan Bajawa - Ngada - Flores, perkakas yang saya maksudkan ini disebut Go Laba. Go artinya gong dan Laba artinya gendang. Di lingkup-lingkup kebudayaan lain, perkakas yang sama tentu saja memiliki sebutan, karakter, lengkap dengan filosofinya masing-masing.

Agaknya, asal-usul secara kronologis berkaitan dengan kapan dan di mana untuk pertama kalinya Go Laba dibuat atau dibunyikan, agak rumit untuk diurai. Orang-orang Bajawa hari ini, lahir dan hidup dalam kenyataan bahwa Go Laba sudah menjadi bagian dari indentitas mereka. Meski demikian, Go Laba tetap menarik untuk diselisik lebih jauh.

Go Laba berjumlah total delapan (8) buah. Lima (5) gong dan tiga (3) gendang. Gong 1 disebut wela, bernada sol. Pada setiap momen yang membutuhkan Go Laba, wela akan ditabuh paling pertama. Gong 2 disebut uto-uto, bernada fa, ditabuh beberapa saat sesudah wela. Gong 3 yang akan menyusul setelah uto-uto, disebut dhere, bernada mi. Tiga (3) gong ini, sejak awal sampai akhir, ditabuh secara konsisten dengan ketukan dan cara tabuh yang tidak berubah. Wela ditabuh dengan ketukan paling cepat, menyusul uto-uto, lalu dhere. Setelah dhere, dua gong (4 dan 5) yang sisa, disebut doa, bernada re dan do. Arti lain dari doa ialah saudara. Doa biasanya ditabuh oleh satu orang penabuh saja. Dijepit satu tangan lalu ditabuh dengan tangan yang sisa, atau digantung talinya di leher kemudian ditabuh berganti-gantian dengan kedua tangan. Oleh sebab itu, dua gong ini disebut doa, dua gong yang tak terpisahkan, bersaudara, juga cara tabuhnya lebih variatif dibanding wela, uto-uto, dan dhere.

Lalu, dua gendang kembar disebut laba wa’i. Wa’i artinya kaki. Gendang kembar ini berukuran ramping, hampir setinggi pusar laki-laki. Disebut laba wa’i karena berjumlah 2, sama seperti jumlah kaki, lalu dapat ditabuh oleh dua orang dengan cara berdiri.

Jari-jari kaki penabuh akan menjepit ujung bawah laba wa’i. Laba wa’i merupakan gendang kembar yang ditabuh secara amat unik. Kedua gendang ini memiliki kontribusi yang khas bagi keseluruhan Go Laba, karena diharuskan untuk ditabuh secara kreatif, sejak 5 gong telah dibunyikan.

Terakhir, laba déra, gendang pendek dan bulat. Meskipun dibunyikan paling akhir, laba déra merupakan yang paling ‘perkasa’, yang paling keras bunyinya, yang selanjutnya mengontrol 5 go dan 2 laba terdahulu. Laba déra memimpin dari belakang, model kepemimpinan yang melayani gaya klasik orang Bajawa.

Baca Juga: Sadok Nonga, Lecutan Ekspresi Kebahagiaan Masyarakat Flores Timur

Tim penabuh Go Laba diharuskan memiliki naluri kerja sama yang tinggi. Kerja sama tersebut dapat dimulai dengan konsistensi masing-masing penabuh. (Keluarga Sa’o Sulu Tei, Dona, Bajawa, Flores)

Dari gambaran umum ini, apa kira-kira makna atau nilai yang dapat ditimba? Secara reflektif, Go Laba merupakan miniatur atau model kecil bagaimana sebuah tim bekerja sama. Lihat saja, wela tak akan memiliki makna apa-apa tanpa uto-uto atau dhere. Begitupun doa, sama sekali percuma tanpa gong dan gendang yang lain. Ini model kerja sama yang telah ada dan diwariskan sejak zaman leluhur orang Bajawa.