Di Bawah Duli Senhor Sikka

By National Geographic Indonesia, Kamis, 7 Januari 2021 | 12:37 WIB
Sebuah kampung di Nusa Bunga yang menjadi tumpuan kembalinya percik percik kejayaan masa silam. (Valetino Luis/National Geographic Indonesia)

(Tuhan, saya percaya, tetapi kuatkan iman saya! Tuhan, jika Engkau berkenan, Engkau dapat sembuhkan saya).

Di saat seperti itu, saya dapat melihat beberapa peziarah yang datang dengan permohonan disembuhkan, diampuni, diberkati, menyeka air mata mereka.

Bukit Maschador adalah sebuah bukit ilalang di sisi timur kampung Sikka. Anak-anak muda lokal menamainya demikian lantaran trek mendaki yang lumayan meletihkan namun menjanjikan panorama aduhai ke arah kampung, terutama momen terbenam surya. Saya mencapainya dengan napas terengah-engah.

Baca Juga: Melihat Ulang Bagaimana Sudut Pandang Menjadi Seorang Pejalan

Para perempuan menunjukkan perkabungan dengan menutupi wajah mereka dengan kain hitam. (Valentino Luis/National Geographic Indonesia)

“Sebenarnya Maschador adalah nama figur dalam Toja Bobu, sendratari warisan Portugis,” Novan Mekeng, sepupu saya dari pihak ibu angkat bicara. Kisahnya tentang seorang putri, Prinseja, memilih calon suami. Yang melamarnya ada delapan pemuda dari beragam latar pekerjaan. Masing-masing memamerkan kelebihannya kepada sang putri, yang pada akhirnya memutuskan pilihan kepada Maschador, seorang pedagang, karena renggala atau janji memberikan kehidupan yang lebih baik.

“Tapi sendratari itu sudah hampir dua dekade tak lagi dipentaskan. Dulu, Toja Bobu dipertontonkan sebagai hiburan Natal dengan naskah antik yang sulit dimengerti,” katanya menerawang. Novan dan generasi kampung Sikka yang bertahan sekarang mungkin hanyalah segelintiran yang mendamba percik-percik masa lalu bisa kembali, setidaknya melalui pariwisata.

Saya melihat kampung tua ini punya kans sangat potensial bila wisata di sini dihidupkan secara khusus. Dia telah memiliki fondasi kuat, juga ideal, entah secara historis, tradisi, maupun hal-hal lainnya. Mungkin pada pandangan pertama orang tidak mengamininya, apalagi dengan rupa yang agak terbengkalai seperti sekarang.

Barangkali impian beserta niat ini patut didaraskan di bawah duli Senhõr pada Sexta Feira mendatang. Tak elok rasanya sekian lama cuma mengenang jaya kesilaman, bukan?

Sekelompok ibu dari Lepo Lorun bercerita sembari mencabuti uban di sela kesibukan menenun. (Valentino Luis/National Geographic Indoneia)

Perhiasan berbentuk hati, Coracao de Viana, identik dengan kebudayaan Portugis. (Valentino Luis/National Geographic Indoneia)

Bagi pejalan Katolik, wilayah ini adalah rana untuk berziarah. Mulailah di pusat Kota Maumere, seperti Patung Kristus Raja yang sekawasan dengan Katedral Santo Yosef. Kemudian lanjutkan ke Nita, tempat Patung Bunda Segala Bangsa berukuran 28 meter berdiri di atas bukit bervista elok. Di Nita juga terdapat banyak biara serta seminari bagi para calon pastor, termasuk Seminari St. Paulus Ledalero yang memiliki Museum arkeologi ‘Bikon Blewut’ dan Seminari St. Petrus Ritapiret yang pernah diinapi oleh Sri Paus Yohanes Paulus II. Terus ke selatan, terdapat Sanctuari Maria Fatima di Lela (5 kilometer sebelum Kampung Sikka), atau Patung Yesus Memberkati di Paga yang berada di atas tanjung tepi laut. (National Geographic Indonesia)

UNTOLD FLORES merupakan perjalanan untuk menyingkap sejarah, budaya, alam, dan cerita manusia di Flores, Nusa Tenggara Timur. Tujuannya, membangkitkan gairah perjalanan wisata berbasiskan narasi tentang sebuah tempat, sekaligus membangun kesadaran warga dan pejalan tentang pentingnya memuliakan nilai-nilai kampung halaman. Gagasan ini merupakan bagian misi National Geographic Indonesia, yang didukung oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia.