Narasi Flores Tidak Berhenti pada Cerita Orang Tua dan Bajo Saja

By National Geographic Indonesia, Kamis, 7 Januari 2021 | 20:16 WIB
Seorang pelancong tengah menikmati suasana matahari terbit di puncak Lia Ga. Bukit Lia Ga yang terletak di pesisir utara Pulau Flores secara administratif masuk ke dalam wilayah kabupaten Ende. Butuh waktu sekitar 2 jam perjalanan untuk sampai ke sana. (Mikael Jefrison Leo)

Cerita oleh Aden Firman

Foto oleh Mikael Jefrison Leo

Nationalgeographic.co.id—Sejak dahulu kita hanya mengenal bagian kecil dari Flores. Pada masa Hindia Belanda, Nusa Tenggara lebih populer dengan nama Sunda Kecil. Padahal ciri-ciri kesundaan hanya di wilayah Bali dan Sumbawa. 

Sekitar 1915-1950, Nusa Tenggara masih disebut-sebut sebagai 'wilayah pinggiran'. Akibatnya Nusa Tenggara kurang mendapat perhatian. 

Di bidang pencatatan dan penelitian, kita bisa membandingkan dengan Sumbawa (Bima) yang lebih maju karena mengenal tradisi tulisan bernama Bo, kitab undang-undang atau kumpulan catatan dari Kerajaan Bima. Namun penduduk wilayah Nusa Tenggara pada umumnya justru tidak mengenal tradisi tulisan. Catatn atau penelitian hanya bersumber dari lisan.

Adapun para peneliti pernah mengatakan bahwa sumber bacaan atau pencatatan tentang Manggarai dan yang terkait Nusa Tenggara Timur itu sedikit bisa ditemui.

Baca Juga: Pata Déla: Pedoman dalam Hidup Bersama dari Para Leluhur di Bajawa

Semasa kuliah, saya mencoba membuat agenda rutin jalan-jalan ke toko buku. Untuk memastikan buku apa saja yang memiliki aroma timur Indonesia. Saya melihat hal itu jarang termpampang di antara barisan buku-buku yang lain. Sekalipun ada hanya di cabang toko buku ternama.

Karena hal itu saya mengira bahwa sampai hari ini narasi atau dokumentasi tertulis tentang Flores tidak akan mudah untuk ditemui kecuali mendengarkanya langsung dari cerita orang tua. Sukar sekali menemukan buku tentang itu bahkan tidak banyak yang bisa ditemukan di laman-laman internet. 

Dengan tinggi mencapai 28 meter dan berdiri anggun menghadap kota Maumere, Patung Maria Bunda Segala Bangsa ini berlokasi di Bukit Keling-Nilo, Desa Wuliwutik, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka. Jarak dari Maumere sekitar 16 kilometer. (Mikael Jefrison Leo)

Kabar baiknya belakangan kepariwisataan kita kini mengedepankan narasi atau sisi lain dari cerita yang kita miliki. Salah satunya diskusi kelompok terfokus yang bertema “Membangun Narasi Aktivitas Pariwisata Minat Khusus Labuan Bajo dan Kota-Kota Satelitnya” yang digelar National Geographic Indonesia yang bekerjasama dengan Wonderful Indonesia dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).

Saya tidak pernah mengira akan diundang juga menjadi salah satu peserta workshop untuk menghadiri kegiatan seperti ini. Apalagi undangan datang dari majalah bingkai kuning yang banyak kita kagumi.