Pax Nederlandica: Kuasa Politik Apartheid Zaman Hindia Belanda

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Kamis, 14 Januari 2021 | 10:00 WIB
Serdadu Australia sedang bercakap-cakap dengan orang Indonesia yang menjual buah kepada mereka beberapa minggu sebelum Jepang mengakhiri imperium Hindia Belanda. (Australian War Memorial)

Nationalgeographic.co.id—Melalui fiksi Bumi Manusia dan kisah dalam tetralogi Pulau Buru karangan Pramoedya Ananta Toer, muncul tokoh Minke. Dia merupakan tokoh utama dalam kisah itu, yang sering mendapatkan diskriminasi rasial. Seperti saat dirinya bersekolah di Hogereburger School, ia harus duduk di barisan bangku belakang bersama dengan rekan-rekan pribumi lainnya.

Digambarkan juga tentang Nyai Ontosoroh, seorang gundik yang harus menghadapi persidangan untuk hak asuh putrinya, Annelies. Persidangannya pun harus dilalui dengan tata cara peradilan yang merendahkan posisinya, dibandingkan hukum yang ditujukan kepada non-pribumi.

Baca Juga: Mengapa Tidak Ada yang Terkejut Bila Politisi Terlibat Skandal?

Hal yang umum pula pada kisah tersebut, baik pada novel atau filmnya, terpampang papan tulisan larangan maupun aturan lainnya untuk menolak pribumi dapat mengakses beberapa fasilitas di kota.

Begitulah gambaran masyarakat era kolonial yang menstratifikasi masyarakat berdasarkan warna kulit selaras dengan penjabaran Peter Carey dalam esainya, Brown Lives Matter: Living in the Shadow of Apartheid in post-colonial Indonesia, bahwa sistem tersebut lebih mirip rezim Apartheid di Afrika Selatan.

Namun, rasa superior ras itu tidak terjadi oleh bangsa Eropa di Nusantara saat awal kedatangannya, terutama Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman pada 1596. Sebab kedatangannya, ialah sekedar sebagai pedagang dan bukan penakluk.

Baca Juga: Mungkinkah Memasang Parasut pada Pesawat Supaya Penumpang Selamat?

“Mereka harus menggunakan akal agar bisa hidup. Seringkali ini berarti mempelajari bahasa-bahasa setempat yang sulit dan menyesuaikan diri dengan budaya setempat,” tulis Carey. Menurutnya, mawas mereka sebagai ras tertinggi di antara seluruh manusia justru terjadi pasca VOC bangkrut ketika Belanda memegang kendali kawasan Hindia Timur.

“Ya, jadi semua bermula ketika sistem politik Pax Neerlandica, berlaku dan merubah tatanan sosial lewat warna kulit dan gender,” terang Carey saat diwawancarai National Geographic Indonesia. “Dan perempuan pribumi diposisikan paling bawah.”

Carey menyebutkan bahwa sistem politik Pax Nederlandica muncul terutama masa Jawa bertekuk lutut pada Belanda pasca-Perang Dipanagara. Kemudian dengan disahkannya  Regeeringsreglement (Peraturan Pemerintah) Hindia Belanda oleh pemerintah kolonial pada 2 September 1854, dan menyebar ke penjuru Hindia Timur seiring tunduknya kerajaan-kesultanan di Nusantara.

Baca Juga: Peter Carey Ungkap Kedudukan Perempuan di Era Kesultanan di Nusantara

Peraturan tersebut mengelompokkan penduduk Hindia Belanda menjadi tiga kategori, yakni orang Eropa, Timur Asing (seperti orang Arab dan Tionghoa), dan Inlander atau pribumi.