Budaya Indis, Pupusnya Jejak Akulturasi Budaya Eropa dan Nusantara

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Minggu, 17 Januari 2021 | 13:27 WIB
Ruangan berlantai kayu jati di lantai dua rumah Andries Hartsinck. Arsitektur indis memberikan ruang, kesejukan, cahaya, dan udara yang cukup. Inilah kearifan Hindia. (Mahandis Yoanata Thamrin)

Nationalgeographic.co.id—Pernahkah Anda memperhatikan bangunan-bangunan tua sisa zaman Hindia Belanda? Jika Anda memperhatikan desainnya yang memiliki sedikit kesamaan dengan yang Eropa, ternyata memiliki sisi yang berbeda. Mengapa demikian?

Desain beberapa bangunan itu merupakan produk kebudayaan Indis yang terlahir akibat akulturasi arsitektur Eropa dan lokal, yang menyesuaikan kondisi geografis di tanah koloninya. Tak hanya pada desain dan konstruksi, penentuan lokasi juga turut mengikuti unsur lokal.

Corak Indis tidak hanya ditemukan pada gaya arsitekturnya saja, tetapi juga pada gaya hidup pada masanya, dan sebagian lestari hingga kini.

Adam Zaki Gultom dalam Kebudayaan Indis sebagai Warisan Budaya Era Kolonial menulis bahwa akulturasi ini disokong oleh masyarakat, berkembang akibat kondisi historis, politik ekonomi, sosial dan seni budaya.

Baca Juga: Pax Nederlandica: Kuasa Politik Apartheid Zaman Hindia Belanda

Pada pihak masyarakat Eropa dan Belanda yang sudah menetap di Nusantara, mereka berasal dari golongan sosial yang tak seelit masyarakat kelas atas di negeri asalnya. Namun, mereka berteguh diri untuk menyesuaikan gaya masyarakat kelas atas di Hindia Belanda. Terlebih sistem politik Pax Neerlandica mewarnai perbedaan sosial berdasarkan warna kulit.

Nuansa Hindia Belanda begitu diskriminatif akibat sistem Pax Nederlandica. Namun demikian, menurut Fadly Rahman dalam Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia masa Kolonial 1870-1942, kalangan pribumi—terutama kalangan elit—yang dekat dengan orang Belanda banyak mengubah sifat dan karakter karena persoalan status sosialnya.

Fadly juga mengungkapkan bahwa perubahan kebiaasaan ini disebabkan pemerintah kolonial mengharuskan penguasa Belanda bergaya hidup dengan cara berbeda dari rakyat—dan golongan sosial lain—demi menunjukkan kuasa.

Baca Juga: Merapah Rempah: Mengungkap Narasi Asal-Usul Kesejatian Indonesia

Perkawinan campur yang berkembang pada awal abad ke-19 juga menjadi faktor lahirnya budaya Indis. Absennya perempuan Eropa di awal kolonialisme, membuat kaum lelaki menikah dengan perempuan Nusantara. Akibatnya, terdapat pemaburan kebudayaan Nusantara ke golongan Eropa, dan gagasan maupun pranata dari Barat ke penduduk Nusantara.

Perempuan Nusantara yang menjadi gundik lelaki Eropa dikenal sebagai “nyai”, umumnya berperan mengurusi rumah tangga. Pergundikan ini menyebabkan laki-laki Belanda turut menyerap kebiasaannya.

“Mereka [laki-laki Belanda] pun mulai mengubah gaya hidup dan kebiasaan asli mereka, meskipun mereka seorang totok, misalnya dalam hal makan, tidur menggunakan guling, mandi, hingga kebutuhan seksual,” tulis Rahman.