Nationalgeographic.co.id—Perkembangan bidang kesehatan modern di Indonesia, tak terlepas dari datangnya tenaga ahli yang didatangkan Belanda pada masa kolonialisme. Kondisi tersebut membantu mengentaskan permasalahan pagebluk yang mengintai tanah koloninya, melalui perkembangan vaksin.
Vaksin di Hindia Belanda muncul karena tingginya kasus pagebluk. Salah satunya yang mematikan adalah cacar. Keberadaannya pertama kali tercatat sejak abad ke-17. Cacar menjadi pagebluk yang mematikan di Jawa awal abad ke-20.
Peter Boomgaard sejarawan Belanda, dalam Smallpox, Vaccination, and The Pax Neerlandica Indonesia, 1550-1930 menulis bahwa pada 1781 diperkirakan 20 dari 100 penduduk di Jawa yang terserang cacar berujung pada meninggal dunia.
Baca Juga: Penyakit-Penyakit yang Mungkin Terlupakan Karena Efektifitas Vaksin
Pada awal abad ke-19, diperkirakan 102 dari 1.019 bayi yang dilahirkan di Jawa meninggal karena cacar. Akibatnya, tingkat kematian pada anak-anak dapat mencapai 10% hingga 30%.
"Buruknya pelayanankesehatan pada abad ke-19 selain dikarenakan tidak pahamnya pemerintah kolonial mengenai karakteristik penyakit tropis,terbatasnya teknologi kedokteran, juga disebabkan oleh minimnya dana yang dianggarkan untuk itu," terang I Gede Wayan Wisnuwardana, sejarawan IKIP PGRI Bali. Dia menulisnya dalam artikel jurnalnya Kebijakan Pemerintah Kolonial Dalam Penanganan Penyakit Cacar di Jawa Abad XIX-XX.
Vaksin pertama kali tiba di Batavia pada Juni 1804 dengan kapal Elisabeth yang mempuh perjalanan jauh. Berasal dari pusat pengembangannya di Jenewa, kemudian dikirim ke Baghdad dan Basra, melalui India dan dikirim ke Isle de France kemudian berakhir di Batavia.
Berdasarkan tulisan Occidental Therapeutics in the Netherlands-East Indies during Three Countries of Netherlands Settlement, karya seorang dokter Hindia Belanda, D. Schoute, vaksin telah menjangkau Surabaya, Semarang, Jepara, Surakarta, dan Yogyakarta pada tahun yang sama.
Tindakan vaksinasi kemudian menjadi populer sebagai usaha pencegahan penyebaran penyakit. Pertama kali dilakukan oleh dokter Eropa kepada pribumi yang sehari-harinya berhubungan dengan orang-orang Eropa, dan pejabat lokal.
Agar mudah diterima oleh masyarakat, menurut Wisnuwardana, pemerintah kolonial dalam kebijakannya mengajak mantri dan dokter pribumi.
Keterbatasan jarak sosial antara pribumi dan tenaga medis Eropa dan minimnya tenagakesehatan menjadi alasan pemerintah membuka sekolah kedokteran untuk pribumi. Tercatat, bahwa sampai 1910 terdapat 166 mantri (dokter pribumi) cacar dan 37 calon mantri cacar.