“Analisis ketinggian air sungai menunjukkan bahwa banjir merupakan komponen penting dalam hidrologi Sungai Tembesi. Oleh karena itu, kami menggunakan model elevasi digital dan jaringan sungai untuk menghasilkan peta risiko banjir,” terang mereka.
Dari pendapat masyarakat, pembangunan bendungan banjir dan saluran drainase juga berkontribusi pada perubahan pola banjir lokal. Karena perkebunan kelapa sawit secara khusus semakin banyak dibudidayakan di lahan basah—seperti lahan gambut—pemilik perkebunan yang berusaha mengontrol banjir di tanah mereka melalui fasilitas tersebut.
Baca Juga: Desanya Tak Lagi Membara, Warga Sei Pakning Dulang Berkah Wangi dari Lahan Gambut
"Namun, bendungan seperti itu sering kali menyebabkan peningkatan banjir di persawahan petani kecil di sekitarnya," Terang Jennifer Merten, peneliti University of Göttingen, melalui rilisnya.
"Tentu, sangat penting untuk meregulasi dan mengontrol intervensi bentang alam untuk melindungi dari banjir dan (sebagai) drainase. Jika tidak ditindak, akan menyebabkan dampak peningkatan banjir kepada masyrakat yang lebih miskin, sebab perusahaan besar hanya membuat airnya lewat begitu saja."
Marten bersama timnya juga memprediksikan sekitar 408 kilometer persegi tanah yang berdekatan dengan sungai akan tergenang. Bencana ini dapat berdampak negatif pada infrastruktur lokal, pertanian, dan penduduk desa.
Tentunya, peristiwa bencana dan sulitnya memprediksi banjir musiman berdampak pada sosial ekonomi secara signifikan, seperti gagal panen yang terjadi pada petani kecil di kawasan tepi lokal. Akibatnya, berdasarkan laporan pemerintah setempat, kerugian itu menjadi alasan utama bagi para petani mengubah lahannya menjadi perkebunan kelapa sawit.