Nationalgeographic.co.id—Pada 4 April 1968, Martin Luther King Jr. ditembak mati di Memphis, Amerika Srikat. Tetapi bagaimana bila upaya itu tidak berhasil? Bagaimana jika ia masih hidup?
Empat hari setelah suaminya dibunuh, istrinya bernama Coretta Scott King memimpin pawai pekerja Memphis. Upayanya itu tidak hanya membawa perjuangan suaminya, tapi pertentangan terhadap Perang Vietnam, kampanye ekonomi serta keadilan rasial, kecaman apartheid Afrika Selatan, dan agitasi untuk hak gay menurut Jeanne Theoharis, profesor Ilmu Politik Brooklyn College dan penulis A More Beautiful and Terrible History: The Uses and Misuses of Civil Rights History.
Jika masih hidup, kemungkinan King akan mengangkat tema yang sama dengan istrinya dan bahkan membawanya ke Gedung Putih, demikian spekulasi Komozi Woodard, profesor Sejarah, Kebijakan Publik, dan studi Africana di Sarah Lawrence College di National Geographic.
Satu hal yang mudah dibayangkan jika ia tidak terbunuh adalah mungkin kita tidak merayakan Hari Martin Lurther King Jr. di dunia ini.
Jika King masih hidup, Theoharis menduga keterlibatanya dengan aktivitas keadilan rasial yang saat ini terjadi. Seperti Black Lives Matter.
Ada banyak hubungan antara aktivis hak-hak sipil enam puluhan dengan gerakan saat ini. Woodard mengungkapkan, King akan menambahkan stabilitas pada inti gerakan-gerakan tersebut.
Baca Juga: Budaya Indis, Pupusnya Jejak Akulturasi Budaya Eropa dan Nusantara
Pada akhir riwayatnya, King dikagumi banyak orang, tapi tidak bagi para pemimpin politik.
"Kepemimpinan FBI pada saat itu melihat perawakan King sebagai 'mesias hitam' dalam istilah kriminal," kata Woodard.
Tetapi beberapa dekade setelah pembunuhan King, kita dapat melihat sebaliknya. Bahwa King adalah seorang yang syahid dan membuatnya menjadi pria impian banyak orang, menurut Theoharis.