Flu Spanyol, Lambannya Pemerintah Hindia Belanda Menangani Pagebluk

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 20 Januari 2021 | 07:30 WIB
Mobil keliling Burgerlijke Gezonheiddeinst (BGD) atau Dinas Kesehatan Rakyat untuk membantu kampanye anti-influenza yang merebak di Hindia Belanda 1919. (Tropenmuseum)

De Vogel, dokter dari Burgerlijke Gezonheiddeinst (BGD), melakukan pengamatan dan usaha penyembuhan di beberapa kota Jawa, Bali, dan Lombok yang sangat terdampak selama setahun. Berkatnya data kasus menjadi jelas bagi pemerintah pusat di Batavia yang sebelumnya masih simpang siur.

Ia juga menemukan selama pagebluk berlangsung, koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah masih kurang. Terbukti dengan pejabat daerah mengambil tindakan sendiri-sendiri di wilayahnya, akibat tak adanya dasar hukum yang jelas dalam penanggulangan pagebluk.

Usaha pemerintah Hindia Belanda nampak pada akhir 1918 dan awal 1919 melalui kampanye penggunaan masker dan menginstruksi Burgerlijke Gezonheiddeinst (Dinas Kesehatan Rakyat) untuk menemukan obat dan cara penyembuhan influenza. Kampanye yang dilakukan selain lewat media massa, juga melalui kesenian wayang.

Baca Juga: Dianggap Tak Nyaman, Warga AS Tolak Gunakan Masker Saat Pandemi Flu Spanyol

Laboratorium pun berhasil membuat obatnya dan langsung memproduksi massif untuk dibagikan ke masyarakat. Masyarakat juga turut melakukan pengobatan alternatif, baik secara tradisional maupun metafisik atau dukun.

Gubernur Jenderal van Limburg Stirum pada awal 1919 mulai membuat rancangan undang-undang (RUU) untuk memberantas pagebluk dengan karantina beberapa kota dan membatasi pelayaran. RUU tersebut direferensikan dengan wabah pes sebelumnya yang mewabah Hindia timur pada 1911.

Bukannya tanpa hambatan, rancangan ini mendapatkan protes dari kalangan pengusaha, terutama dari direksi Koninklijk Paketvaart-Maatschappij (KPM). Perusahaan transportasi laut Hindia Belanda itu keberatan karena RUU tersebut dapat membatasi kinerja dan usaha mereka.

Sangat lamban kinerja pemerintah Hindia Belanda untuk mengesahkan RUU untuk memberantas pagebluk, padahal Agustus 1919 pagebluk demam kuning mulai menyerang Hindia Belanda. Pengetokan regulasi tersebut baru dilakukan pada Oktober 1920.

Melihat kinerja tersebut, sejumlah sejarawan menilai bahwa Hindia Belanda telah gagal menghadapi pagebluk flu Spanyol. Sebab sementara UU baru diketok, flu Spanyol di berbagai belahan dunia mulai surut.

Kegagalan pemerintah dalam mendapatkan perhatian dari masyarakat juga nampak terlihat dan banyaknya angka kematian. Wibowo dan rekan-rekannya menilai, banyaknya korban pagebluk influenza yang tewas karena disebabkan masyarakat lebih memilih mendatangi dukun ketimbang dokter.

Di sisi lain terdapat jurang kelas dalam penanganannya. Para dokter, khususnya di Hindia, umumnya malas menangani orang Jawa karena tidak memiliki uang. Mereka lebih memilih melayani orang-orang Eropa dan Tionghoa karena berdasarkan stereotip, golongan itu sudah pasti memiliki banyak uang.