Lahan Gambut Tropis Tertua di Dunia Ditemukan di Pedalaman Kalimantan

By Utomo Priyambodo, Selasa, 2 Februari 2021 | 08:39 WIB
Pengambilan sampel tanah dari lahan gambut di situs Putussibau, Kalimantan. (Monika Ruwaimana/ University of Oregon)

Nationalgeographic.co.id—Sekelompok peneliti menemukan lahan gambut tropis tertua di dunia. Lahan tersebut ditemukan di Pulau Kalimantan, Indonesia. Tepatnya, di sebuah situs pedalaman di utara Kota Putussibau, Kalimantan Barat.

Menurut hasil penanggalan karbon, lahan gambut purba itu setidaknya telah terbentuk sejak 47.800 tahun lalu. Umur ini jauh lebih tua bahkan dua kali lipat lebih tua dari yang tim peneliti perkirakan sebelumnya.

Lahan gambut ini juga memiliki lapisan yang sangat dalam, yakni 18 meter. Itu setara dengan tinggi bangunan enam lantai.

Laporan mengenai temuan ini telah dipublikasikan ke dalam jurnal ilmiah Environmental Research Letters pada akhir 2020 lalu. Penemuan ini dilakukan oleh tim ilmuwan dari University of Oregon, Amerika Serikat. Peneliti utama dalam riset ini adalah Monika Ruwaimana, mahasiswi doktoral dari University of Oregon yang juga merupakan dosen Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Monika Ruwaimana menjelaskan bahwa dalam penelitian ini timnya mengambil sampel tanah  dari dua lokasi daratan dan tiga pantai yang terhubung dengan Sungai Kapuas di provinsi Kalimantan Barat untuk mereka teliti. “Kami mempelajari lahan gambut, sejenis tanah yang terbuat dari bahan organik seperti kayu dan daun,” kata Monika seperti dikutip dari laman resmi University of Oregon.

“Bahan tanaman mati ini terawetkan dengan baik di dalam tanah dan terus menumpuk karena permukaan air yang tinggi mencegah pembusukannya,” jelas Monika. “Biasanya kedalaman lahan gambut hanya beberapa meter, tapi lahan gambut yang kami temukan ini jauh lebih dalam.”

Baca Juga: Desanya Tak Lagi Membara, Warga Sei Pakning Dulang Berkah Wangi dari Lahan Gambut

Peta 5 titik lokasi pengambilan sampel tanah lahan gambut di Kalimantan Barat. ( University of Oregon)

Daniel Gavin, profesor di Department of Geography University of Oregon, yang turut menjadi salah satu peneliti dalam riset ini, mengatakan bahwa temuan ini telah memberikan wawasan baru tentang iklim hutan hujan di wilayah ekuator, terutama selama zaman es

Zaman es atau periode glasial adalah periode ketika suhu bumi turun drastis selama bertahun-tahun atau dalam jangka waktu sangat lama sehingga menyebabkan peningkatan jumlah pembentukan es di kutub dan gletser gunung. Menurut para ahli, periode glasial terjadi berulang kali dengan diselingi masa-masa yang lebih hangat yang disebut sebagai masa interglasial. Adapun zaman es terakhir adalah priode glasial terakhir yang diperkirakan berlangsung antara 110.000 tahun hingga 10.000 tahun lalu.

Berdasarkan ketebalan lahan gambut yang ditemukan ini, Monika Ruwaimana menyimpulkan bahwa situs Putussiba tidak begitu terganggu oleh deforestasi dan koversi lahan seperti kebanyakan daerah lain di Indonesia.

“Kami pikir lapisan situs Putussibau akan lebih tipis karena orang sudah membangun jalan di atasnya,” ujarnya. “Tapi yang mengejutkan, kami menemukan kedalaman 17 hingga 18 meter. Sebagai perbandingan, rata-rata kedalaman lahan gambut di Indonesia adalah 5 sampai 6 meter."

Umumnya, situs pesisir mengandung lahan gambut dangkal. Sebab, lahan gambut di pesisir baru mulai terbentuk setelah zaman es terakhir berakhir dan setelah permukaan laut stabil, yakni antara 4.000 dan 7.000 tahun lalu.

Baca Juga: Tata Kelola Gambut di Papua Demi Keberlangsungan Hidup Warga

Lahan gambut di pedalaman Kalimantan ini merupakan lahan gambut tropis tertua di dunia yang pernah ditemukan dan mungkin memang merupakan lahan gambut tropis tertua yang masih tersisa di bumi ini. Jadi, mungkin juga, lahan gambut pedalaman ini merupakan lahan gambut yang mengandung kepadatan karbon terbesar di dunia saat ini.

“Lahan gambut pedalaman ini mungkin memainkan peran penting dalam iklim dan penyimpanan karbon sebelum dan selama zaman es terakhir,” ujar Monika.

Dengan adanya temuan lahan gambut yang kedalamannya mencapai 18 meter ini, para peneliti menyarankan adanya pembaruan terhadap data karbon yang tersimpan di Indonesia. Menurut mereka, perkiraan sebelumnya bahwa jumlah total karbon yang tersimpan di Kalimantan adalah 9,1 gigaton dan di Indonesia adalah 25,3 gigaton, itu terlalu rendah. Namun begitu, kata Monika, dibutuhkan lebih banyak data untuk melakukan perhitungan lanjutan agar hasilnya lebih akurat.

Monika menjelaskan lebih lanjut bahwa lahan gambut di Indonesia menyimpan banyak karbon organik dan memainkan peran penting dalam siklus karbon dunia hingga saat ini. Hasil penelitian terbaru yang diterbitkan oleh Estelle Chaussard, ahli geologi dari University of Oregon, dan timnya menunjukkan bahwa rusaknya dan hilangnya lahan gambut telah menjadikan Indonesia sebagai penghasil utama karbon dioksida di atmosfer dunia.

“Membakar lahan gambut bukanlah perbuatan yang baik,” ujar Monika. “Hal ini menimbulkan asap beracun, menurunkan permukaan air, dan melepaskan banyak karbon."

Baca Juga: Mengapa Karhutla Masih Kerap Terjadi Meski Sudah Restorasi?

Monika menyebut contoh, "Kebakaran yang berlangsung selama dua bulan pada tahun 1997 menjadikan Indonesia sebagai penghasil karbon nomor 1 pada tahun itu. Kebakaran tahun 2015 (di Indonesia) juga telah menyebabkan infeksi saluran pernapasan atas pada setengah juta orang dan menutup bandara di seluruh Asia Tenggara.”

Center for International Forestry Research (CIFOR), lembaga nirlaba yang bergerak di bidang lingkungan, pernah menjelaskan bahwa lahan gambut memiliki banyak manfaat, antara lain bisa menjadi sumber makanan, air bersih, dan keanekaragaman hayati serta mencegah kekeringan, banjir, dan pencampuran air asin untuk irigasi pertanian. Lahan gambut juga memegang peranan penting dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim karena di dalamnya terkandung lebih dari 30% cadangan karbon dunia.

Namun begitu, ketika gambut terbakar, sejumlah besar karbon dioksida dan gas-gas lain akan terlepas ke atmosfer. Hal inilah yang berkontribusi terhadap perubahan iklim dan masalah kesehatan masyarakat yang serius.