Usaha Etnis Tionghoa Menginspirasi Gerakan Kemerdekaan Indonesia

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Kamis, 4 Februari 2021 | 14:52 WIB
Ungkapan dukungan pemuda Tionghoa kepada kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1946. (Berita Film Indonesia)

Meski memiliki gebrakan, bukan berarti etnis Tionghoa satu suara untuk mendukung nasionalisme dan kemerdekaan. Hampir sama dengan permasalahan timur asing Arab, etnis Tionghoa juga terpecah dalam kelompok politis.

Didi menyebut setidaknya ada tiga kelompok pergerakan besar Tionghoa, yakni Aliran Sin Po, Chung Hua Hui (CHH), dan Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Aliran Sin Po merupakan kelompok yang mendukung perjuangan rakyat Indonesia, tetapi menganggap Tiongkok daratan sebagai tanah airnya. Kemudian CHH, merupakan kelompok muda kapitalis yang mendukung Ratu Belanda.

Baca Juga: The Sin Nio dan Ho Wan Moy, Srikandi Tionghoa untuk Kemerdekaan

“Yang terakhir ini, PTI. Mereka berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, dan menganggap Indonesia sebagai tanah air. Tapi ironisnya tidak cuma dimusuhi sesama Tionghoa, tetapi ditolak juga sebagai kalangan pergerakan nasional,” ujar Didi.

Meski ada sekat dalam pergerakkan yang membuat kecewa beberapa tokoh pergerakan, nyatanya tidak membuatnya apatis. Kebencian terhadap kelompok pergerakan Tionghoa seperti PTI, Didi menyebut, melahirkan “para pelompat tembok rasial”.

Kelompok pemuda Tionghoa yang sadar akan Indonesia sebagai tanah airnya, dan bersatu bersama kalangan lain, lalu turut serta dalam Sumpah Pemuda 1928. Beberapa tokoh di antaranya adalah Kwee Thiam Hong (Daud Budiman), Oey Kang Siang, John Liauw Tjoan Hok, dan Tjio Djin Kwie. Sejumlah nama ini pun tercatat di Museum Sumpah Pemuda.

Akibat keberadaannya tak diterima banyak kalangan dan demi mendapatkan identitas sebagai orang Indonesia, PTI sendiri berdiri pada 25 September 1932 di Surabaya. Didirikan oleh Liem Koen Hian dan Kwee Thiam Tjing. Kata “Indonesia” sengaja dicantumkan sebagai idealisme mereka.

“Jikalau peranakan Tionghoa yang mendengar suara hatinya mau melekatkan nasibnya bersama-sama orang Indonesia pada tanah Indonesia ini, ia pun mesti dianggap orang Indonesia sejati,” terang Liem Koen Hian dalam wawancara yang dipublikasikan Mata Hari edisi 8 September 1934.

Baca Juga: Roemah Piatoe Ati Soetji, Filantropi Istri Mayor Cina di Betawi

Keresahan idealisme ini pun membuat Liem Koen Hian bersahabat dengan Abdul Rahman Baswedan yang mendirikan PAI pada 1934. Mereka sempat bekerja sama di koran Sin Tit Po, dan mengampanyekan nasionalisme melalui media itu.

Meski sudah mendapatkan jabatan di Volksraad, PTI mempunyai konflik internal yang mengakibatkan mereka bubar pada 1939. Bubarnya partai ini bukan berarti jalan buntu memperjuangkan etnis Tionghoa demi kemerdekaan dan identitasnya sebagai orang Indonesia.

Sejumlah tokoh pun memilih melebur dengan partai-partai pendukung kemerdekaan lainnya seperti PKI, PNI, dan Gerindo (Gerakan Indonesia Raya). Dengan harapan, agar identitas dari segi etnis dapat diterima lewat peleburan golongan.

Liem Koen Hian sendiri memilih Gerindo sebagai jalannya, dan disambut baik oleh ketua umum Amir Syarifuddin. Didi mengungkap bahwa partai ini bersifat inklusif bagi etnis manapun.

“Makin banyak kaum peranakan yang ingin bergabung dengan gerakan nasionalis Indonesia, dan karenanya untuk mereka pintu harus dibuka,” ungkap Amir Syarifuddin yang dikutip oleh Didi.