Nationalgeographic.co.id—Menurut laporan hasil sebuah riset terbaru yang telah dipublikasikan di jurnal JAMA Psychiatry pada 27 Januari 2021, skizofrenia merupakan faktor risiko tertinggi kedua kematian yang diakibatkan COVID-19. Faktor risiko tertinggi pertama adalah usia.
Riset sebelumnya telah menemukan bahwa orang-orang dengan penyakit mental, terutama depresi dan skizofrenia yang menyebabkan distorsi dalam pemikiran dan persepsi, memiliki risiko lebih tinggi untuk terinfeksi SARS-CoV-2, virus penyebab COVID-19. Namun tidak diketahui apakah gangguan mental juga terkait dengan faktor risiko kematian akibat COVID-19.
Kini, dalam riset terbaru ini, para peneliti telah tahu jawabannya. Ya, memang ada kaitannya. Begini penjelasannya.
Dalam riset ini ini tim peneliti mempelajari catatan kesehatan dari 260 klinik rawat jalan dan empat rumah sakit di seluruh New York City, berdasarkan data yang diterbitkan oleh catatan kesehatan elektronik New York University. Dari 26.540 pasien yang diuji (sekitar 4.500 pasien dikeluarkan karena berbagai alasan), 7.348 orang dewasa dinyatakan positif COVID-19 antara 3 Maret dan 31 Mei 2020.
Baca Juga: Perubahan Iklim Turut Menurunkan Kedatangan Turis di Indonesia?
Tim peneliti kemudian membagi data para pasien dengan gangguan kejiwaan menjadi tiga kategori, yakni spektrum skizofrenia, gangguan mood, dan gangguan kecemasan. Mereka kemudian membandingkannya dengan pasien COVID-19 yang tidak didiagnosis dengan gangguan kejiwaan.
Dalam riset ini tim peneliti juga mengkategorikan temuan mereka berdasarkan jenis kelamin, usia, ras dan faktor-faktor risiko lain yang diketahui terkait COVID-19. Antara lain tekanan darah tinggi, diabetes, kondisi jantung, penyakit paru obstruktif kronik, penyakit ginjal kronis, merokok, dan kanker.
Dari lebih dari 7.000 orang dewasa yang berdasarkan hasil tes terbukti positif terinfeksi virus corona selama waktu itu, 75 pasien memiliki riwayat skizofrenia, 564 memiliki riwayat gangguan mood, dan 360 memiliki riwayat gangguan kecemasan. Secara keseluruhan, 864 dari pasien COVID-19 meninggal atau dipulangkan dari rumah sakit dalam waktu 45 hari sejak didiagnosis terkena virus corona.
Baca Juga: Studi: Konservasi Lahan Gambut Bisa Kurangi Dampak Pandemi COVID-19
Para peneliti tidak menemukan hubungan antara kecemasan atau gangguan mood dan kematian akibat COVID-19. Tetapi mereka menemukan bahwa orang dengan skizofrenia ternyata sekitar 2,7 kali lebih mungkin meninggal akibat COVID-19 daripada orang tanpa gangguan mental. Dan tim peneliti menemukan bahwa skizofrenia ini merupakan faktor risiko tertinggi kedua kematian COVID-19 setelah usia.
Sebagai perbandingan, pasien berusia antara 45 dan 54 tahun memiliki peluang 3,9 kali lebih mungkin meninggal akibat COVID-19 daripada pasien yang lebih muda—terlepas dari apakah mereka memiliki gangguan mental atau tidak. Dan risiko itu meningkat dua kali lipat setiap pertambahan 10 tahun setelah usia 54 tahun. Untuk faktor risiko lainnya misalnya, penderita gagal jantung atau diabetes diketahui memiliki risiko masing-masing 1,65 kali dan 1,28 kali lebih tinggi untuk meninggal akibat COVID-19.
Dr. Donald Goff, profesor psikiatri di NYU School of Medicine yang menjadi salah satu peneliti dalam riset ini, mengatakan bahwa temuan ini telah diperkirakan namun tetap saja mengejutkan. Ia menjelaskan bahwa penelitian-penelitian sebelumnya memang telah menunjukkan bahwa skizofrenia telah memperpendek usia harapan hidup penderitanya rata-rata sebanyak 20 tahun. Banyak penderita skizofrenia meninggal lebih cepatkarena pneumonia dan penyakit virus, katanya.
"Sepertinya ada sesuatu tentang penyakit skizofrenia atau mungkin pengobatan untuk penyakit ini yang menyebabkan mereka berada pada risiko kematian yang sangat tinggi," kata Goff seperti dikutip dari Live Science. Misalnya, mungkin penyakit atau obat-obatan tersebut mengganggu sistem kekebalan tubuh, katanya. Penelitian sebelumnya menemukan bahwa orang-orang dengan skizofrenia dapat mengubah respons imun dan variasi gen yang mengatur respons imun tubuh mereka terhadap infeksi.
Baca Juga: Mengajarkan Rasa Empati Mampu Meningkatkan Kreativitas Anak-anak
"Ini adalah studi yang sangat menarik, terutama yang berkaitan dengan peran sistem kekebalan tubuh," kata Dr. Norbert Müller, profesor psikiatri dari Ludwig Maximilian University of Munich di Jerman, yang tidak terlibat dalam riset ini. Ia mengatakan beberapa psikiater berspekulasi bahwa skizofrenia terkait dengan aktivasi sistem kekebalan dan molekul pensinyalan pro-inflamasi yang dikenal sebagai sitokin. Penyebab umum kematian COVID-19 adalah reaksi berlebihan dari sitokin tersebut, yang juga dikenal sebagai badai sitokin.
"Mekanisme seperti itu juga dapat berperan dalam skizofrenia dan menjadi jalur umum skizofrenia dan tentu saja fatal dalam COVID-19," kata Müller. Tetapi gen yang menginstruksikan dan mengatur respons kekebalan tubuh juga bisa berperan, tambahnya. Menurutnya jumlah pasien skizofrenia yang diteliti dalam riset ini masih rendah dan memiliki kekurangan karena tak memasukkan data tentang obat psikosis yang dikonsumsi para pasien. Selain itu, data yang dipakai juga hanya mencakup para pasien di New York City.
Goff dan timnya kini sedang melakukan lebih banyak penelitian untuk mencari tahu apakah ada alasan biologis mengapa pasien skizofrenia memiliki risiko kematian akibat COVID-19 lebih tinggi. Namun untuk saat ini, "kami pikir penting untuk menyampaikan hal ini kepada orang-orang” bahwa orang-orang dengan skizofrenia harus termasuk di antara mereka yang "diprioritaskan untuk mendapatkan vaksin," tambahnya.